Select Page

Oleh: Supriyono

Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Ilmu Pendidikan

Prof. H.M. Soedomo

Prof. Drs. H.M. Soedomo, M.A., seorang guru besar UM, kala itu pernah mendapat tugas tambahan sebagai Asisten I Menko Kesra

Tanggal 27 Juli 1995 menjadi awal hari-hari yang sangat panjang dan mencemaskan bagi keluarga yang tinggal di Jl. Jakarta 44 Malang dan keluarga besar Universitas Negeri Malang (saat itu masih bernama IKIP Malang), ketika menerima kabar bahwa bapak Prof. Drs. H.M. Soedomo, M.A., seorang guru besar UM yang tengah mendapat tugas tambahan sebagai Asisten I Menko Kesra, mengalami kecelakaan speed boat di perairan Loh Liang Pulau Komodo Nusa Tenggara Timur. Sampai hari ini jasat Prof. H.M. Soedomo tidak berhasil ditemukan. Beliau hilang dalam menjalankan tugas negara sebagai Ketua Kelompok Kerja Warisan Dunia (Pokja Wardun) untuk memantau kelestarian Pulau Komodo sebagai Warisan Dunia (the World Heritages) di bawah UNESCO untuk katagori alam lingkungan.

Peninjauan itu beliau lakukan untuk memperoleh data lapangan dalam rangka menyusun program aksi agar Pulau Komodo tetap terdaftar sebagai warisan dunia dan tidak di-delisting oleh UNESCO. Kegiatan ini dinilai sangat penting oleh Pak Domo selaku Ketua Pokja Wardun Republik Indonesia sebagai sebuah peluang untuk mempertahankan status Pulau Komodo agar tetap terus diakui sebagai warisan alam dunia, dan agar tetap mendapatkan sumber-sumber daya dari Unesco dan menjadi kebanggaan bangsa.

Terlepas dari persoalan takdir dan nasib, kecelakaan tersebut menjadi bukti tersendiri akan sifat dan sikap Pak Domo (demikian biasanya para mahasiswa dan koleganya menyebutkan nama Prof. H.M. Soedomo, M.A.) yang terkenal pekerja keras, gigih, disiplin, percaya diri, kreatif, dan komited. Ketokohan Pak Domo patut diceritakan kembali dalam rangka menyambut Lustrum UM ke-12 tahun 2014. Ketokohan Prof. Drs. H.M. Soedomo, M.A., khususnya peran beliau dalam meletakkan dasar-dasar pengelolaan program pengabdikan kepada masyarakat ketika beliau menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) yang pertama, ketokohannya sebagai pendiri (founding father) Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, dan ketokohannya dalam pentas pendidikan nasional. Dan yang lebih lekat adalah sosok psiko–fisiknya yang selalu nampak segar (freshly), berenergi penuh, optimistis, dan ramah kepada setiap orang.

Mengenang peristiwa hilangnya Pak Domo ketika menjalankan tugas mulia tersebut, bagi pihak-pihak yang memiliki memori tentang beliau akan tergambar kembali dengan jelas karakter pak Domo sebagai dosen pegawai negeri yang disiplin, gigih, taat memegang janji, pekerja keras, dan pandai mengatur waktu. Sebagai dosen, naluri (passion) ke-guru-annya sangat tajam, kreatif, dan senantiasa efektif. Dalam hal membelajarkan (membuat situasi agar mahasiswanya mau belajar dan menjadi terpelajar) Pak Domo terkenal memiliki berbagai cara, baik yang dilakukan secara langsung olehnya maupun yang dilakukan dengan memanfaatkan orang dan pihak ketiga. Pak Domo adalah dosen UM angkatan atau generasi kedua, setelah generasinya pertama angkatan Prof. Adam Bachtiar (Rektor Pertama UM). Pak Domo mulai mengabdi sebagai dosen di UM (waktu itu tentu kelembagaan UM adalah sebuah fakultas FKIP dari Universitas Airlangga) tahun 1960, setelah lulus dari Fakultas Pedagogik Universitas Gajah Mada dan meraih gelarsarjana.

SETIAMEMENUHI JANJI

Sebagaimana dilaporkan oleh Harian Nusra (koran lokal NTT edisi 2 Agustus 1995) bahwa keberangkatan rombongan Pak Domo melalui jalur laut di petang hari itu sebenarnya sudah diperingatkan agar ditunda, karena sore hari, laut di sekitar perairan Selat Lintah dan Selat Molo di kawasan TN Komodo sebenarnya berbahaya karena sering muncul gelombang arus pusaran arus yang biasa disebut dengan gelombang kala-kala oleh nelayan setempat. Gelombang yang bisa memutar dan menyedot itu musimnya memang pada bulan Juli sampai Agustus di saat musim angin tenggara yang berhembus dari Samudera Indonesia dari sebelah Pulau Sumba.

Tetapi karena Pak Domo sudah punya janji dengan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Ir. Soemarsono untuk bertemu di Loh Liang pada malam harinya, agaknya sulit diurungkan kembali. Akhirnya mereka berangkat juga menaiki speedboat bernama “Wardun” berkekuatan 85 PK yang dikemudikan Yonas Ora, 29 tahun, pegawai TN Komodo. Ayah dari tiga anak yang sudah bekerja selama empat tahun di TN Komodo itu berada satu kilometer di belakang speedboat bernama  “Jagawana”  yang  berkekuatan  40  PK  yang  dikemudikan Suprayitno. Jagawana berada satu kilometer di depan membawa perlengkapan rombongan termasuk bahan bakar, logistik, dan pakaian, serta tas rombongan Prof. Soedomo. Kedua speedboat itu berangkat pukul 16.10 WITA.

Kedatangan Pokja Wardun ke TN Komodo maksudnya untuk mengadakan peninjauan atas permintaan Unesco. Makanya, selaku Ketua Pokja Wardun, Prof. Soedomo mengirimkan surat kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) Departemen Kehutanan, Ir. Soemarsono untuk meminta izin beberapa staf di lingkungan Direktorat PHPA ikut dalam pemantauan ke TN Komodo dan TN Ujung Kulon. Surat itu bernomor B-588/K/MENKOKESRA/VII/1995 itu tertanggal 24 Juli 1995.

Dalam surat itu dimintakan izin keikutsertaan Drs. Johannes Subijanto, M.Sc. (Kepala TN Komodo), Ir. Yaya Mulyana (Kasubdit Taman Nasional dan Hutan Wisata), Ir. B.G. Resubun (Kepala Seksi Evaluasi Fungsi dan Potensi Taman Nasional), serta Ir. Agoes Sriyanto, M.Sc. (Kepala Taman Nasional Ujung Kulon). Pemantauan ke TN Komodo berlangsung pada Juli tahun 1995 sedangkan ke Ujung Kulon terjadwal pada bulan Agustus 1995 yang direncanakan masing-masing selama tiga hari lamanya.

Sebagaimana dilaporkan berbagai media yang meliput peristiwa nahas tersebut, prolog musibah itu adalah ketika UNESCO di Paris melalui program The World Heritage menetapkan Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Ujung Kulon menjadi warisan budaya dan warisan alam dunia (Wardun) pada tanggal 20 Desember 1991.Untuk mempertahankan statusnya sebagai Wardun, Unesco mempersyaratkan Pemerintah Indonesia harus memenuhi dan menjaga beberapa persyaratan di antaranya adalah keutuhan dan kelestarian lingkungan, penegakan regulasi, dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.

Setelah semuanya matang, akhirnya sebagian rombongan berangkat ke Taman Nasional Komodo yang terdiri atas Prof. Soedomo, Ir. Yaya Mulyana, Dra. Bernadette Hartati Sugardjito, M.Sc., Suryati, serta Miss Martha Klein dari the World Heritage UNESCO Paris. Hartati dan Suryati merupakan staf Taman Nasional dan Hutan Wisata yang berpusat di Bogor. Kelima orang ini tiba di kantor TN Komodo yang ada di Labuhan Bajo di ujung timur Pulau Flores pada hari Kamis 27 Juli 1995 pukul 14.30 WITA menaiki kapal laut Kilang Kamila.

Di labuhan Bajo, rombongan disambut oleh kolega mereka dari TN Komodo dan Kapolsek Komodo Letda. Pol. I Putu Ngurah. Setelah beristirahat makan siang sebentar dan berbincang-bincang, diputuskan hari itu juga akan berangkat menyeberang ke Loh Liang yang merupakan base camp utama TN Komodo di Pulau Komodo. Menurut kisah salah seorang staf TN Komodo, kebetulan saat itu juga hadir Dirjen PHPA Ir. Soemarsono di sana. Soemarsono singgah di Labuhan Bajo setelah mengikuti perjalanan Menteri Kehutanan Djamaloedin Soeryo Hadikoesoemo dari Timor Timur. Kedatangan Dirjen PHPA dengan helikopter Gatari milik Departemen Kehutanan itu juga hendak ke Pulau Komodo. “Tapi tujuan Pak Dirjen ke Pulau Komodo itu hanya untuk meninjau. Berbeda tugas dengan Pak Soedomo”, kata staf PN Komodo itu.

Rombongan tim Pokja Wardun lalu membuat janji dengan rombongan Dirjen PHPA untuk bertemu di Loh Liang. Dirjen Soemarsono lalu menaiki helikopternya terbang ke Pulau Komodo dan tiba di sana pada Kamis (27/7) pukul 16.00 sore. Sedangkan rombongan Pokja Wardun yang terdiri atas Prof. Soedomo, Ir. Yaya Mulyana, Dra. Bernadette Hartati Sugardjito, M.Sc., Suryati, Martha Klein, Ir. Tatang dari TN Komodo dan disertai Kapolsek Komodo Letda. Pol I Putu Ngurah dan stafnya A. Syahrir berangkat melalui laut.

Pada jam 16.00 Wita tanggal 27 Juli 1995 rombongan Prof. Soedomo beserta delapan anggota rombongan naik speedboat Wardun berangkat menuju Loh Liang. Di depannya berjarak satu kilometer telah terlebih dahulu berlayar speedboat Jagawana. Jumlah penumpang pada speed boat Wardun yang dinaiki Pak Domo adalah 9 orang (termasuk beliau), sedangkan speed boat Jagawana yang berangkat satu kilometer di depan mengangkut tas pakaian rombongan, BBM, dan logistik.

Sore itu, menurut Oman Rachman, petugas TN Komodo, udara cerah. Kedua speedboat itu pun melaju ke tengah samudera menuju base camp TN Komodo di Loh Liang yang berada di cerukan teluk di Pulau Komodo. Biasanya dari Labuhan Bajo ke Loh Liang ditempuh sekitar 1 jam 25 menit. Jagawana dan Wardun menderu melintasi pulau-pulau kecil Manggiatan, Papagarang Besar, Papagarang Kecil, dan Pulau Pengak. Tetapi setelah setengah jam perjalanan, di sebelah Barat Daya dekat Pulau Siaba Besar, Suprayitno ketika menoleh ke belakang, tidak nampak lagi speed boat Wardun. Suprayitno terperanjat, ia lalu memutar balik Jagawana.

Suprayitno mengitari lautan sekitarnya. Di tengah laut ia melihat beberapa tubuh mengapung meminta tolong. Ketika didekati rupanya temannya sendiri. Satu persatu Suprayitno mengangkat mereka ke Jagawana. Suasana saat itu mencekam dan histeris. Mereka masing-masing Martha Klein, Ir. Yaya Mulyana, Ir. Tatang, A. Syahrir, dan Yonas Ora. Suprayitno kemudian membuka komunikasi melalui radio ke Kantor TN Komodo di Labuhan Bajo yang juga segera menghubungi Dirjen Soemarsono yang telah tiba di Loh Liang. Tidak lama kemudian Kapal Budi Agung dari Labuhan Bajo datang membantu, membawa kelimanya menuju Labuhan Bajo. Setelah terombang-ambing selama 2,5 jam, barulah mereka tiba pukul 19.30 Wita. Mereka langsung dibawa ke Puskesmas Labuhan Bajo. “Keadaan mereka saat itu dalam keadaan histeris”, cerita Hamid, salah seorang perawat Puskesmas.

Rupanya,  tanpa  sepengetahuan  Suprayitno,  speedboat Wardun  terjebak gelombang kala-kala yang datang tiba-tiba memutar arus laut beserta angin kencang, sehingga Wardun terbalik dan lenyap bersama Prof. Soedomo, Dra. Bernadette Hartati Sugardjito, M.Sc., Suryati, dan Letkol. Pol. I Putu Ngurah. Saat itu juga pencarian dilakukan. Tapi pencarian itu sia-sia meskipun seluruh pihak dihubungi dan operasi pencarian besar-besaran dilakukan sampai hampir tiga minggu. Biasanya operasi pencarian korban kecelekaan laut dilakukan selama satu minggu saja. Pencarian melibatkan kapal perang TNI AL, KRI Nala dan dua helikopter dari Basarnas dan Ditjen PHPA (harian Surya 30 Juli 1995 dan Kompas, 2 Agustus 1995). Kelima orang yang ditemukan selamat tidak mengalami cedera yang berarti, sehingga hanya dirawat sehari saja. Hari Jumat (28/7) pukul 10.30 Wita, Martha Klein, dan Ir. Yaya Mulyana kembali ke Jakarta bersama Dirjen Soemarsono menaiki helikopter Gatari. Yonas Ora yang sudah bertugas selama empat tahun di TN Komodo kembali ke rumah dekat lapangan terbang Mutiara Labuhan Bajo. Duka datang menyelimuti.

Ketika peristiwa heroik itu terjadi, Pak Domo tengah menjalankan tugasnya sebagai Asistem I Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat bidang Pendidikan, Kebudayaan, dan Generasi Muda; yang sekaligus adalah Ketua Pokja Wardun.Pada saat itu di Indonesia ada dua alam lingkungan yang terdaftar sebagai Wardun, yaitu Pulau Komodo dan Taman Nasional Ujung Kulon di Propinsi Jawa Barat (sekarang masuk Propinsi Banten).

Kedatangan Prof. Drs. Soedomo, M.A. ke Taman Nasional di Pulau Komodo adalah untuk kepentingan dunia. Tapi takdir berkata lain: sampai kini hilang diterpa pusaran ombak kala-kala antara Pulau Rinca dan Pulau Komodo. Peristiwa kecelakaan speedboat Jagawana di perairan Pulau Komodo tanggal 27 Juli 1995 tersebut beserta epilognya seolah menggugah kembali semua kenangan indah tentang sosok Pak Domo yang luar biasa.

Keteguhan hati Pak Domo untuk tetap berangkat menyeberang walaupun sudah diperingatkan akan ancaman bahaya di laut dan dalam keadaan badan yang mungkin sudah lelah, namun karena komitmennya terhadap tugas dan karakternya untuk memegang janji akan menemui Dirjan PHPA, memberi bukti sekali lagi bahwa Pak Domo adalah orang yang teguh pendirian dan komited terhadap tugas, serta disiplin waktu. Sekali lagi, terlepas dari persoalan takdir dan nasib, kecelakaan tersebut menjadi bukti tersendiri akan sifat dan sikap Pak Domo yang demikian.

GAMBARAN UMUM

Secara fisik, pada usia menjelang 60 tahun ketika kecelakaan itu terjadi, nampak sangat matang, badannya atletis walau cenderung agak gemuk, bobot tubuhnya sekitar 70 kg., tinggi badan 160an Cm, bentuk muka cenderung bulat, rambut lurus selalu tersisir rapi ke belakang, pakaian yang paling sering dikenakan ke kampus atau di tempat formal adalah baju safari. Bila berjalan tidak pernah pelan, selalu dengan kecepatan tinggi, seolah seperti mengejar waktu, pandangan matanya selalu lurus ke depan, namun selalu menyapa atau memberi senyum kepada setiap orang yang ditemui. Berbicaranya selalu mengesankan tegas, penuh percaya diri, jelas, dan memandang lurus pula kepada lawan bicaranya.

Berbagai stigma positif sering diungkapkan para kolega, mantan mahasiswa, maupun bawahannya, misalnya pegawai negeri yang disiplin, gigih, taat memegang janji, pekerja keras, dan pandai mengatur waktu.

Fisik pak Domo sangat prima, fit, dan selalu energik. Kebiasaan beliau untuk bangun pagi dan jogging setelah sholat subuh adalah kunci kebugaran tersebut, selain kebiasaan makan teratur dan terkontrol. Untuk kepentingan jogging itulah maka ke mana saja Pak Domo bebergian selalu membawa sepatu dan pakaian olah raga di dalam kopernya. Jogging adalah aktivitas rutin beliau. Aktivitas itu pula yang membuat ujung jarinya kejepit pintu gerbang Wisma Guru di Jakarta tempatnya bermukim selama berdinas di Jakarta sebagai Asisten I Menko Kesra. Diceritakan pada waktu itu, di bulan Juni tahun 1995, Pak Domo mau keluar kompleks wisma untuk jogging, karena satpam wisma belum siap membukakan pintu, pak Domo membuka sendiri pintu gerbang wisma tersebut. Gerbang itu berupa pintu geser yang terbuat dari besi. Entah bagimana mulanya, ketika tangan kanannya menarik pintu untuk ditutup kembali, tangan kirinya belum dilepaskan dari tiang pangkal pintu gerbang, akhirnya ujung jarinya tergencet daun pintu dan tiang pangkal. Tiga ujung jarinya terluka. Pada saat bertugas ke Pulau Komodo itu ujung jari yang terluka tersebut masih dibalut kain kassa, belumlah sembuh benar. Karena keteguhan tekad dan jiwa pengabdiannya yang sangat tinggi, pak Domo tetap berangkat menunaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Pak Domo lahir di Jember 16 Agustus 1935. Soedomo lahir dari keluarga guru SD di pedesaan. Kondisi yang dipiluti keterbatasan tidak menghalangi tekadnya untuk mencapai cita-citanya melalui sekolah. Jarak Jember ke Bondowoso dirasakan tidak terlalu jauh, terbukti ia bisa menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pertamanya di “kota tape” Bondowoso. Jenjang ke tingkat SMA ditempuh di Malang di sebuah sekolah SMA Katolik St. Albertus. Dididik dengan disiplin yang tinggi, ternyata membuahkan hasil baginya. Ia mampu meraih gelar kesarjanaannya di Fakultas Paedagogik Universitas Gajah Mada pada tahun 1960. Pada tahun 1977 berhasil meraih gelar Master of Art in Education dari School of Education, Stanford University, California AS.

Pak Domo juga seorang ahli bidang Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dan pernah menjadi partisipan SEAMEO Innotech Center tahun 1973. Di IKIP Malang, ia menaruh perhatian yang besar terhadap pengkajian dan pengembangan pendidikan Pancasila maupun pendidikan dalam pembangunan nasional dan kajian strategik pembangunan nasional jangka panjang. Prof. Soedomo juga membuat buku, diantaranya: Pengembangan Sistem Belajar Masyarat, Landasan Pendidikan dan PLS, dan buku Perubahan Pengembangan Masyarakat.

Jenjang karier lain yang pernah dijalani adalah menjadi ketua ahli pada Proyek Perencanaan 0Pendidikan Daerah Terpadu yang waktu itu lebih dikenal dengan istilah Propipda yang juga dikenal dengan cikal bakal bagi kelahiran Bagian Perencanaan Pendidikan Kanwil Depdikbud Jatim tahun 1974. Tahun 1980-1982 menjadi konsultan Proyek Pendidikan Kedesaan Miskin, yang merupakan salah satu proyek SEAMEO Innotech Center. Bahkan ia turut berperan dalam menyiapkan materi kemampuan perencanaan pendidikan daerah dan mutu pendidikan melalui proyek STEPPS Depdikbud.

Sejak tahun 1984 ia menduduki jabatan fungsional sebagai guru besar di IKIP Malang dan juga menjabat struktural sebagai ketua Lembaga Pengabdian pada Masyarakat. Sejak 30 Maret 1990 ia diangkat menjadi asisten Menkokesra bidang Kebudayaan, Pendidikan, dan Generasi Muda.

SANG PEMBELAJAR YANG KREATIF

Sebagai dosen, Pak Domo adalah pembelajar yang inspiratif. Satu slogannya yang sangat dikenal para mahasiswanya yang menjadi dosen adalah “berikan sepertiga saja, dua pertiganya biar dicari sendiri, dan mereka akan mendapatkan lebih dari satu”. Kalimat itu bermakna konstruktivistik, dosen tidak perlu memberi kuliah dengan berceramah, panjang lebar, atau memberi tahu atau mendemonstrasikan pengetahuannya kepada mahasiswa dengan berceramah, melainkan cukup memberikan kunci-kunci simpul pengetahuan dan arah belajar lanjutan yang harus ditempuh, agar mahasiswa kelak mendapatkan lebih banyak lagi ilmu pengetahuan dari proses pencarian melalui eksplorasi lapangannya sendiri. Pak Domo juga sangat menjaga keteladanan dalam mengajar maupun dalam pekerjaan lain. Dalam hal mengajar beliau selalu nampak “well prepare”. Ketika berangkat ke kampus UM dari rumahnya di Jl. Jakarta 44 Malang, Pak Domo selalu berjalan kaki dengan menenteng satu tas di masing-masing tangan kanan dan kirinya. Bahkan tidak jarang masih ada mahasiwa atau asisten beliau yang diminta tolong membawakan berkas-berkas lain di belakang beliau.

Di tengah kesibukannya yang luar biasa, mengajar selalu mendapat perhatian dari Pak Domo. Jadwal mengajar Pak Domo seringkali menjadi tidak reguler. Kapan pak Domo ada waktu luang maka beliau akan mamanggil ketua kelas agar memberi tahu teman-temannya bahwa pada hari ini jam ini Pak Domo akan mengajar. Dalam hal ini peran Ibu Soedomo sangat penting sebagai sekretaris pribadi beliau untuk meneleponi ketua kelas atau mengirim kurir kepada para ketua kelas atau mahasiswa tertentu agar mengatur pertemuan perkuliahan yang dijadwalkan Pak Domo.

Dalam hal membimbing penyusunan skripsi atau tesis Pak Domo punya jadwal dan tempat khusus. Jadwal waktu yang paling sering beliau sediakan adalah jam 06.00 pagi, tempat khusunya adalah di rumah beliau, di ruang kerja khusus sebelah kiri ruang tamu rumahnya. Pak Domo sudah punya cara khusus untuk para mahasiswa yang perlu dipanggil untuk dibimbing atau yang mengajukan jadwal konsultasi. Biasanya mereka akan dipanggil melalui telepon atau kurir agar datang ke rumahnya pada jam-jam tertentu.

Dalam cara memberikan bimbingan dan mengajar ini, citra beretos kerja yang tinggi pun melekat pada diri Pak Soedomo. Di sela-sela kesibukannya menjadi Asisten Menko Kesra maupun ketika masih menjadi Ketua LP2M IKIP Malang, beliau selalu menepati jadwal mengajar di kampus itu. Bahkan dilukiskan, di pagi hari sekali pun, misalnya baru beberapa menit tiba dari Jakarta, ia bersedia menerima mahasiswanya yang ingin konsultasi. Syaratnya hanya satu, tepati janji dan waktu.

Bimbingan skripsi atau tesis pada pagi hari biasanya beliau lakukan sehabis jogging. Dengan masih mengenakan pakaian olahraga beliau langsung duduk menerima bimbingan. Mahasiswa harus sudah siap di ruang kerja tersebut sebelum Pak Domo datang dari jogging, jangan sampai Pak Domo sudah datang dari jogging dan sudah tiba jadwalnya untuk bimbingan, mahasiswa belum datang. Bila ini terjadi Pak Domo akan memarahinya ketika ketemu mahasiswa itu dengan mengatakan “Kamu ini brengsek!”. Satu hal yang luar biasa adalah ketika menunggu Pak Domo datang dari jogging dan selama bimbingan di rumah beliau, selalu disediakan teh atau minuman lain dan kue oleh Bu Domo melalui pembantu rumah tangganya. Bahkan banyak mahasiswa yang ketika bimbingan itu diajak sarapan bersama di ruang makan rumah beliau dengan menu yang sebagaimana adanya yang biasa di-dahar (dimakan) oleh keluarga Soedomo. Sungguh sebuah perlakukan yang luar biasa dari dosen dan keluarganya kepada mahasiswa.

Apabila skripsi atau tesis telah rampung dan sudah siap maju ujian sidang, ada hal khusus pula yang dilakukan Pak Domo, yaitu meminta mahasiswa itu presentasi dan “diuji” dahulu oleh Pak Domo di ruang kerja di rumahnya itu. Biasanya dilakukan sehari atau dua hari menjelang ujian. Dari proses ujian pendahuluan itulah pak Domo memberikan arahan-arahan bagaimana mahasiswa harus tampil ketika ujian yang sebenarnya esok hari.

Sebagai dosen, naluri (passion) ke-guru-annya sangat tajam, kreatif, dan senantiasa efektif. Dalam hal membelajarkan (membuat situasi agar mahasiswanya belajar dan menjadi terpelajar). Pak Domo terkenal memiliki berbagai cara, baik yang dilakukan secara langsung oleh beliau maupun yang dilakukan dengan memanfaatkan orang dan pihak ke tiga.

Sebuah cerita menarik dituturkan oleh Drs. Sucipto, M.S. (saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor III bidang Kemahasiswaan UM). Ketika menjadi mahasiswa S- 1 Jurusan PLS Pak Sucipta muda indekost di Kawasan Betek (Jalan Mayjen Panjaitan). Pada suatu pagi-pagi setelah subuh pintu kamar kosnya diketuk seseorang, ketika Pak Cip belum bangun. Ketika bangun dan membuka pintu ternyata sudah berdiri di situ Bapak Soedomo. Dengan nada tinggi (seolah marah) Pak Domo berujar, “Bagaimana republik ini bisa maju kalau jam sekian pemudanya masih tidur, ayo bangun sholat dan ikut Pak Domo lari pagi”. Setelah berujar begitu Pak Domo pergi melanjutkan jogging paginya. Esok pagi yang lain Pak Domo datang lagi ke tempat kos Pak Cip, tapi kali ini Pak Cip sudah bangun. Pak Domo mampir melintasi tempat kosnya lagi ketika jogging, dan kali ini Pak Domo membawa sesisir pisang untuk Pak Cip. Demikianlah Pak Domo memberi perhatian kepada mahasiswanya dengan sentuhan pendidikan. Sungguh indah untuk dikenang sebagai sebuah kearifan seorang guru membelajarkan dan mendidik mahasiswanya akan sifat dan karakter yang baik, bangun pagi, sholat, jogging, bersilaturahmi, dan berbelanja.

Ada lagi cerita unik tentang siasat Pak Domo membelajarkan dan membimbing mahasiswanya dengan cara yan berbeda dengan biasanya. Seorang mahasiswa prodi S-2 PLS dari praktisi tengah menyusun tesis. Setelah berkonsultasi berkali-kali dan diberi arahan, rupanya sang mahasiswa tidak sepenuhnya mampu memahami maksud dan arahan Pak Domo. Dan barangkali Pak Domo sudah cukup “jenuh” memberi arahan, maka sang mahasiswa dimintanya memfoto kopi draf tesisnya empat kali. Setelah foto kopi itu jadi dan diserahkan kepada Pak Domo, beliau bertanya siapakah nama atasan si mahasiswa, siapakah nama teman si mahasiswa yang studinya di jurusan bahasa, siapakah teman atau kenalan si mahasiswa yang telah bergelar master, dan siapakah nama mahasiswa lain sekelas si mahasiswa yang dipandang lebih mampu dari dirinya. Kepada keempat keloga sang mahasiswa Pak Domo menulis surat agar draf tesis si mahasiswa dibaca dan diberi masukan secara tertulis. Sang mahasiswa bimbingan diminta mengantarkan naskah draf tesis dan surat Pak Domo kepada nama-nama yang disebut tadi. Berdasarkan masukan-masukan para kolega itulah revisi tesis tersebut harus dilakukan oleh sang mahasiswa. Teknik inilah yang pada akhirnya disebut sebagai teknik delphie. Inilah salah satu trik menarik Pak Domo untuk membelajarkan mahasiswanya. Sebelum orang-orang menyebut metode delphie, Pak Domo sudah mempraktekannya dalam bimbingan tesis.

PERAN MANAJERIAL

Di internal UM, Pak Domo adalah Pendiri Jurusan Pendidikan Luar Sekolah pada tahun 1964 dengan nama Departemen Pendidikan Sosial, Ketua Jurusan, Ketua LPM UM yang pertama. Beliau pernah juga memegang jabatan sebagai Pembantu Rektor III. Perannya dalam merintis dan membesarkan jurusan PLS di UM sangat nyata dan akan selalu dikenang dan dihargai oleh generasi penerusnya. Berkat kerja kerasnya Jurusan PLS UM menjadi program studi yang cukup disegani di kalangan komunitas prodi sejenis di Indonesia. Dan pada tahun 1984 Jurusan PLS di UM atas arahan Pak Domo berhasil membuka Program Studi Strata 2 di Pascasarjana UM.

Ketika menjabat Ketua LPM, Pak Domo adalah peletak dasar manajemen, prinsip-prinsip, dan program aktulasiasi dharma pengabdian kepada masyarakat di perguruan IKIP Malang. Sebagai sebuah lembaga baru di internal UM, maka tugas pokok dan fungsi LPM masih perlu dikembangkan. Permasalahan tata kerja, nilai- nilai, program kerja, dan tata kelola LPM masih perlu diatur karena belum ada polanya. Demikian juga jaringan kerja dengan mitra terkait masih perlu dirintis dan dikembangkan. Dalam kapasitas pengembangan program kerja dan pengakuan kredit poin pengabdian kepada masyarakat bagi dosen, Pak Domo menggunakan istilah “melembaga” agar kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan dosen dapat diakui kredit poinnya.

Karena kecerdasan, kerja keras, keterampilan sosial, dan keluwesan komunikasi yang dimiliki Pak Domo dalam masa jabatannya sebagai Ketua LPM IKIP Malang pada saat itu berhasil dijalin kerjasama dengan berbagai pihak dengan program kerjanya, termasuk rintisan program Hubungan Industrial Pancasila bersama Departemen Tenaga Kerja RI. Dalam pwengembangan metode Permainan Simulasi P4, bapak Drs. M. Soedomo. MA. pernah berperan sebagai ketua tim pengembangan ketika Persimu diamafaatkan uuntuk pemasyarakatan P4 pada tahun 1980 s.d 1981.

Dalam kapasitasnya sebagai sarjana Pendidikan Sosial/Pedogogiek, Pak Domo pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Pendidikan dan Pengembangan Sosial Indonesia (ISPPSI). Ia juga pernah menjadi ketua I Himpunan Pekerja Sosial Indonesia Wilayah Jatim. Tidak mengherankan bila tahun 1974-1976 ia diberi kepercayaan menjadi staf ahli pada Proyek Pendidikan Pedesaan Miskin, yaitu salah satu proyek dari SEAMEO tahun 1980-1982. Bahkan pada Pelita IV-V ia mendapat peluang pada STEPPS Depdikbud.

Kesuksesan dalam menyelesaikan berbagai tugas karena hasil kerja keras dan kedisiplinan pria humoris ini, maka sejak tanggal 3 Maret 1990, ia mendapat kepercayaan untuk duduk mendampingi Menkokesra sebagai Asisten I Menkokesra sampai dengan status terakhirnya yang dinyatakan hilang dalam menjalankan tugas negara pada tanggal 15 Agustus 1995 (Harian Suara Merdeka, 21 Agustus 1995).

EPILOG

Apa yang bisa dipaparkan ini hanyalah sebagian saja dari sisi-sisi karir dan ketokohan Prof. Drs. H.M. Soedomo, M.A. Tentu apa yang bisa dipaparkan ini masih jauh dari demikian banyak sisi-sisi lain dari kompelksitas kehidupan beliau. Sebagai penutup dan pertanggung jawaban akademik terhadap isi, perkenankan dalam kesempatan ini dikemukanan bahwa keberanian saya (penulis) menerima tugas menyusun tulisan tentang Pak Domo sebagai bagian dari “Tokoh UM” dalam rangka Lustrum UM ke 12, dilandasi rasa hormat dan ungkapan terima kasih dari murid kepada guru yang senantiasa bersemayam dalam hati. Keberanian memberikan “opini” tentang pribadi, pikiran, dan karya beliau ini “terpaksa” saya lakukan untuk ikut menandai momentum Lustrum UM ke-12.Sisi-sisi lain Pak Domo sebagai pribadi, kepala keluarga, sebagai dosen, dan pimpinan UM tidak seluruhnya mampu dipotret dari satu sudut pandang orang se orang, dan juga tidak akan mampu diungkapkan seluruhnya.

Sebagian isi tulisan ini saya ambil dari dokumen kliping koran yang sempat terdokumentasi ketika musibah kecelakaan speedboat Pak Domo terjadi di perairan Pulao Komodo, naskah Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, dan sebagian yang lain adalah kesan pribadi ketika sempat interakasi saya dengan beliau. Demikianlah semoga paparan ini mampu menjadi bagian dari tugas menginspirasi bagi kemajuan UM dan dunia pendidikan kita ke depan.