Select Page

Oleh: Moch. Nurfahrul Lukmanul Khakim

Sesaat sebelum memasuki rumah reyot ini, aku ingin menangisi setiap dindingnya. Kabut yang mengambang di pelupuk mata tak menyisakan sebaris harapan yang sempurna. Kadang kala degup-degup pedih yang menyergap lalu mengunciku dalam penyesalan. Pilihan kunci untuk melepaskan semua itu terkadang hanya menyisakan cara tersunyi memutus nadi dengan belati. Sebelum aku bertindak lebih jauh, Nini tergopoh-gopoh muncul dari dapur. 

Wajah muram yang digelayuti kesunyian lekang itu membuat kerutan-kerutan zaman di dahinya seperti mozaik yang tandus akan kesempatan. Wajah itu seketika berubah lebih segar ketika tersenyum tipis ke arahku.

Nini bergumam dalam bahasa ringgou  yang tak akan pernah bisa kubalas dengan bahasa yang sama, walau aku mengerti maknanya.

“Ya, Ni. Aku berkunjung lagi. Aku membawa sukun kesukaan Nini.”

Senyum Nini semakin merekah menyambut kedatanganku yang ganjil hari itu. Tampaknya Nini sudah tak memedulikan lagi. Kami ke dapur untuk memasak sukun bersama. Baru dua hari yang lalu aku mengunjungi Nini, ibu tiriku. Satu-satunya keluarga yang kumiliki, selain suamiku yang mengecewakan.

Akhirnya Nini menyadari juga kedatanganku yang penuh tanda tanya. Biasanya aku hanya berkunjung sebulan sekali sejak menikah setahun lalu. Baru kali ini, aku mengunjunginya hanya dalam rentang dua hari.

Nini menatapku lurus-lurus selagi menunggu sukun rebus itu matang. Akhirnya dia memberanikan diri bertanya, lagi-lagi dalam bahasa ringgou: ada apa?

“Tidak ada  apa-apa. Aku hanya masih kangen dengan Nini dan rumah ini,” jawabku sekenanya. 

Nini diam sebentar sebelum bertanya lagi: suamimu bagaimana?

“Dia sudah mengizinkan. Tidak perlu cemas. Bagaimana kesehatan Nini?”

“Sudah tak pernah batuk,” jawabnya sambil menyentuh dadanya, tanda dia masih sehat. Radang paru sering membuat Nini tersiksa. Dua bulan lalu pernah kambuh sampai Nini terpaksa dirawat di puskesmas. Riwayat kambuh yang terparah itu membuat Nini jera kembali ke puskesmas. Bukan karena obatnya yang mahal, tapi perjalanan dari rumah menuju puskesmas sangat terjal dan jauh. Rumah kami di tepi pantai yang bersembunyi di balik bukit yang tandus. Terpencil dan jauh dari kota kecamatan.

Kota?  Tempat itu telah mencuri harapanku tentang kebahagiaan. Tiba-tiba aku teringat suamiku yang malang. Aku menyesal telah berdusta pada Nini, tapi lelaki itu memang pantas ditinggalkan dan diberi pelajaran.

“Kau akan menginap?”

“Ya, Ni. Besok siang aku akan pulang.”

Senyum Nini mengembang cerah. Sejak ayah kandungku meninggal lima tahun yang lalu, Nini tak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi rasa. Aku memang ada di sisinya sampai sebelum menikah dengan Jonas, tapi aku tak bisa berbahasa ringgou seperti Nini dan mendiang ayahku. Dulu ayahku berasal dari suku ringgou yang merantau ke kota. Pertemuannya dengan Nini saat berkunjung ke kampung halamannya menerbitkan asa untuk hidup bersama.

Aku hanya bisa memahami maksudnya tapi tak pernah bisa mengucapkannya karena sejak kecil orangtuaku berkomunikasi dengan bahasa timur atau Indonesia. Lingkungan kota menyulitkan untuk berbicara dengan bahasa ringgou. Sebagai penutur bahasa ringgou terakhir di pulau ini, bahkan di dunia ini, Nini paling tahu cara bersahabat dengan kesunyian.

Nini menyemai keraguan ketika aku mencoba menyembunyikan lenganku. Mata hitamnya yang nyaris kelabu itu siaga dengan melepaskan sejuta pertanyaan.

Kolam kesedihan yang kusimpan rapat-rapat berubah jadi laguna. Air terjun. Dada terguncang. Ketelangkupkan wajahku ke telapak tangan.

Dengan lembut, Nini menyingkap lengan bajuku. Lebam biru itu mengungkap peringai suamiku. Mabuk. Tampar. Tergugu. Dendam. Lari ke rumah ini.

* * *

Ayah dan Nini menikah saat kesunyian nyaris membunuhku pelan-pelan. Ayah sudah hampir delapan tahun tahun menjanda sejak aku berumur delapan tahun. Ibuku meninggal ketika melahirkan adikku. Mereka sama-sama pergi ke alam baka. 

Mungkin aku sudah mati jika ayah tak menikah dengan Nini. Aku kehilangan api kehidupan. Perempuan belia yang berjalan bukan dengan harapan, tetapi kehancuran. Mengais-ngais masa lalu yang terus menjauh. Dia melumatkan dendam dan sesal saat kubah malam membentang, menyebarkan perih-perih kenangan yang mencekik.

Tepat setahun sebelum menikahi Nini, ayah frustasi luar biasa. Entah kenapa. Kami baru selesai makan malam dengan ubi dan ikan asin. Aku bersiap tidur tapi ayah yang bergadang sambil meminum sebotol sopi  di beranda membuatku bingung. Dia tak pernah meminum sopi di rumah, selain bersama kawan-kawannya di warung. 

“Kenapa, Yah?” 

Wajah ayah yang melongok di pintu kamar membuatku heran.

“Ayah ingin tidur denganmu. Ayah merindukan ibumu.” bujuk ayah.

Dalam satu selimut, ayah memelukku layaknya ayah. Sebelum dia akhirnya jadi ulat, belut, ular, kemudian naga. Mulutku dibekap ketika ayah menjelma kuda. Kuda yang berlari begitu kencang seolah sudah ribuah tahun dikurung dalam kandang yang beku dan pilu. 

Aku menangis lalu sang kuda memekik. Dia terhenyak saat kembali menjadi ulat. Entah kenapa cepat sekali, dia berubah wujud jadi makhluk kecil tak berdaya yang penuh penyesalan. Ayah berlari keluar rumah sementara tubuhku kehabisan cahaya. Mataku hanya menangkap gumpalan sepi yang ditaburkan kepongahan malam.

Ayah merawatku berhari-hari sejak aku sakit saat itu. Dia tak berani membawaku ke dokter. Dia membelikanku buah-buahan kesukaanku: jeruk, semangka, dan jambu mente. Dia merebuskan sukun yang aromanya sangat sedap ditambah taburan garam. Ayah menangis sambil bersimpuh semalaman ketika tubuhku sudah mulai bercahaya tiga hari kemudian.

Aku tak akan pernah lupa kejadian itu walau ayah benar-benar menyesalinya. Karena aku hamil lalu melahirkan seorang bayi cacat. Bayiku tidak punya jari dan bermuka seperti babi. Ayah membinasakan anak kami lalu menguburnya dengan batu ke dasar sungai kering. Aku menangis sampai sebulan kemudian musim hujan mengisi aliran sungai itu dengan air yang akan menghidupkan sawah padi gogo di desa kami. 

“Tidak apa-apa, Nesia. Tidak ada yang tahu. Ini rahasia kita. Bayi itu akan mati jika terus hidup.” Nada sumbang ayah sepulang dari sungai. Tangisanku rekah membius keheningan.

Sejak itu aku takut menikah. Setahun kemudian ayah menikah dengan belis  sebagai Mas Kawinnya. Kami memakamkan sejarah luka di rumah lama. Nini bahagia menyambut kepindahan kami. Dia memasak, mencuci, dan menyapu sepanjang hari seperti kesetiaan burung garugiwa bernyanyi. Dia mencintai kami seindah danau kelimutu. Tanpa tahu keping luka yang pernah ada di antara kami. Baginya, ayah bisa berbahasa ringgou ialah anugerah yang tak bercela. 

Sepuluh tahun sejak suami Nini meninggal, dia tak pernah menemukan orang lain yang dapat bertutur bahasa ringgou. Lidah Nini sudah terlalu lama disekap kepedihan dan kesunyian yang muram.

Saat ayah pergi ke kebun, kami sedang merebus sukun di dapur. Tiba-tiba Nini menangis. Air matanya bergulir menyentuh potongan putih sukun yang masih hangat.

“Kenapa, Bu?”

Raut mukaku yang resah dijawab dengan sebuah tepukan lembut di pundak sambil berkata parau dalam bahasa ringgou, “Sabar. Aku sudah memaafkan ayahmu. Biarkan bayimu tenang di surga, Nesia.”

Siang itu, aku menangis tergugu di pangkuan Nini lama sekali.

* * *

Ayah meninggal lima bulan sejak saat itu. Nini menangis hampir dua hari sejak pemakamannya. Aku duduk di beranda mulai pagi sampai siang, lalu makan dan duduk lagi sampai malam menyapa. Begitu juga keesokannya sampai aku berhenti mengingat cara ayah mati. Mulut menganga dalam tidurnya yang lelap. Aku dan Nini bertemu hanya saat makan siang dan makan malam. Ketika bosan, aku mencari pohon sukun, duduk di bawahnya, tertidur, menangis, memukul-mukul batangnya, lalu pulang sambil menentang satu-dua buah sukun untuk direbus. 

Tinggal di rumah membuatku terus berkarib sesal. Aku pergi ke kota untuk bekerja sebagai pelayan, pembantu, lalu buruh. Semua pekerjaan tak pernah membuatku betah selama tiga tahun. Setahun kemudian, aku ingin tenggelam di pantai. Aku menantang ombak, lalu meneguk asin laut sebanyak-banyaknya. Mungkin seperti ini rasanya meminum kepedihan dari mata air penyesalan seluas samudera. Begitu asin, pedih dan sesak. Sampai akhirnya aku tersedak, kehilangan keseimbangan dan hampir tenggelam.

Seorang nelayan menolongku. Duda tanpa anak itu punya uban yang menaungi kegarangan wajahnya. Dia mengantarkanku pulang ke kampung lalu berkenalan dengan Nini. Kami tak perlu lagi bekerja atau ke pasar untuk beli ikan asin sejak saat itu. Lelaki bernama Jonas itu datang setiap minggu sambil membawa ikan asin yang segar.

“Nes, dia lelaki baik walau usiamu dan dia terpaut sepuluh tahun. Dia menyayangimu. Menikahlah dengannya.” ucap Nini saat makan malam.

Kami menikah dua bulan kemudian. Dia memang mencintaiku seumur ikan asin. Ketika laut mulai tak lagi bersahabat, persediaan ikan asin menipis. Jonas mulai marah-marah pada alam, Tuhan, ikan, laut, dan aku. Tubuhku yang kurus jadi ajang pelampiasannya. Aku sempat kabur, pulang ke rumah Nini. Dia menjemput sambil membawa sepuluh sukun untuk melembutkan hati Nini. Dia terus membujukku sambil membawakanku baju baru, suatu hal yang mewah untuk kami.

Ketika kuputuskan untuk kembali, aku tahu tak pernah ada jalan untuk memaafkan kabut masa lalu.

* * *

Tangan keriput Nini tak pernah lelah menebarkan kedamaian ketika membelai-belai punggungku sejak tadi siang sampai senja merayapi dinding dan jendela reyot rumah ini. Sesekali Nini mengusap kedua matanya yang ikut perih melihat penderitaanku. 

Tiba-tiba Nini batuk. Dadanya berguncang lalu segera mulutnya ditutup dengan telapak tangan. Pikiran hampaku segera tersadar saat batuk Nini berhenti tapi perempuan tua itu terdiam sangat lama. Kukira dia meninggal saat aku buru-buru bangkit lalu matanya yang berkedip menyambutku.

Bercak-bercak darah kental menjanjikan cemas yang menyiksa. Nini membersihkan telapak tangannya sambil berusaha menyembunyikan kabut di matanya. Aku menatap Nini dengan getir yang menikam di dada. Tubuh kami gemetar.  * * *