Select Page

Seminar Nasional Jurusan Seni dan Desain UM

Seminar Nasional ini dilaksanakan sebagai bentuk komitmen Jurusan Seni dan Desain Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang (UM) dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kegiatan dilaksanakan pada tanggal 29 Oktober 2015 di Aula Utama A3 UM, diikuti oleh 209 peserta dari kalangan akademisi, para pemerhati seni dan desain dari delapan Propinsi di Indonesia. Hadir sebagai pembicara utama, Prof. Dr. Yasraf Amir Pilliang, M.A., dari ITB Bandung, Prof. Dr. Ayu Sutarto, dari Universitas Negeri Jember, Dr. Hariyanto, M.Hum dari Universitas Negeri Malang (UM).

Penyelenggaraan Seminar Nasional ini bertujuan mendorong dinamisasi seni dan desain, sehingga lebih bermakna yang pada gilirannya mampu meningkatkan kontribusinya dalam pembangunan Nasional. Penguatan program pembangunan Nasional dalam koridor ekonomi kreatif, menempatkan seni, dan desain sebagai salah satu pilar utama. Pada koridor tersebut seminar ini di selenggarakan untuk memperkuat kebermaknaan seni dan desain dalam penguatan ekonomi kreatif, khususnya pengembangan kawasan kota-kota kreatif.

Membangun Kota Kreatif

Prof. Dr. Yasraf Amir Piliang, M.A. memaparkan, ‘kota’ bukan sesuatu yang diam, statis, dan tak bergerak, melainkan ‘hidup’, berubah bahkan bertransformasi. Agar dapat berubah ke arah yang lebih baik, lebih tertata atau lebih nyaman, kota membutuhkan kebauran dan kemajuan: sistem, bentuk, susunan, gaya. Untuk mencapai kemajuan, kota memerlukan inovasi melalui kekuatan kreativitas, dengan mengeksplorasi segala sumberdaya dan kapasitas yang ada. Kekuatan kreativitas bertumpu pada individu, komunitas atau kelas kreatif, yang secara tanpa henti menghasilkan ide-ide baru. Kota yang mampu menggerakkan individu-individu kreatif dan sumberdaya yang ada untuk menghasilkan gagasan dan produk kreatif demi kemajuan, itulah ‘kota kreatif’.

Kreativitas bukan sesuatu yang berdiri sendiri, akan tetapi ada di dalam berbagai medan sosial, dengan segala kompleksitas bentuk dan nilai-nilainya. Kreativitas adalah aktivitas sosial-kebudayaan, karena kebudayaan dapat dipahami sebagai tindakan manusia dalam mengeksplorasi terus-menerus pikiran, gagasan untuk menciptakan karya-karya baru. Karena itu, menggali gagasan-gagasan kreatif di sebuah kota kreatif sama artinya dengan menggali dan mengembangkan gagasan-gagasan budaya baru yang memberikan kebaikan bagi masyarakat kota. Kota yang ‘hidup’ adalah kota yang selalu dibangun oleh spirit mencari sesuatu yang baru bagi peningkatan kualitas kota: konsep, produk, tanda dan makna.

Salah satu dimensi kebudayaan yang kasat mata di sebuah kota adalah ‘budaya visual’ (visual culture), yaitu bentuk kebudayaan yang dapat dilihat oleh mata. Dapat dikatakan, di abad yang di dalamnya citra-citra visual mendominasi wajah kota, dimensi visual sebuah kota adalah dimensi yang paling mendominasi pengalaman keseharian kita. Landmark sebuah kota ditandai oleh “indentitas visual” (visual indentity), yang membedakannya dengan kota-kota lain: gedung, monumen, menara, gerbang, plaza, alun-alun, masjid, gereja, taman kota, stadion, pasar, kanal, jembatan, dsb. Singkatnya, indentitas visual sebuah kota menunjukkan budaya visual yang melatarinya, serta bagaimana semuanya memberi makna pada kota sebagai jantung perdaban.

Mempersiapkan Pembangun Kota Kreatif Melaui Pendidikan.

“Para pendidik seni-budaya Indonesia pada saat ini masih disibukkan dengan pelaksaan dua kurikulum yaitu KTSP dan Kurikulum 2013 yang masih kontroversi. Selain memikirkan masalah perubahan kurikulum, mereka juga disibukkan oleh kegiatan administrasi (RPP, LKS, PLPG/PPG, UKG, UKG, dll.) yang menyita cukup banyak waktu. Perhatian para pendidik seni-budaya untuk pengembangan kurikulum dirasa kurang karena peran pendidik dalam kurikulum 2012 amat berkurang. Indonesia pada saat ini sudah menjadi bagian MEA dan terhubung dalam ekonomi global. Salah satu andalan ekonomi abad ke-21 adalah ekonomi kreatif yang lebih berfokus pada ekonomi budaya. Lembaga pendidikan ikut berperan serta dalam menyiapkan tenaga/lulusan yang siap bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain. Pendidikan seni-budaya memiliki peluang besar untuk ikut andil menyiapkan lulusan yang terampil. Globalisasi ekonomi dan budaya tidak hanya akan menuntut tenaga kerja harus trampil tetapi juga harus kritis terhadap produk budaya yang sebagian besar diwujudkan dalam bentuk citran dan artefak yang disebut sebagai “budaya visual”. Tugas pendidikan seni budaya baik pendidikan tinggi adalah menyiapkan tenaga kerja yang trampil dan kreatif serta kritis. Tenaga kerja yang trampil dan kreatif diharapkan dapat bersaing di pasaran, atau setidaknya dapat menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Tenaga kerja yang kritis perlu disiapkan agar mereka dapat menyikapi secara bijak samua informasi dan hiburan yang terus diproduksi tanpa henti oleh berbagai media. Tenaga terdidik di bidang seni-budaya diharapkan akan mendukung terbentuknya kelas kreatif untuk mendukung industri kreatif,” ungkap Dr. Hariyanto, M.Hum. (Bud)