Select Page

Oleh : A. Syukur Ghazali

Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra

 

Prof. Drs. H.M.A. Icksan adalah cendekiawan yang sejak lama memikirkan peran mahasiswa dalam kancah yang lebih luas.

Prof. Drs. H.M.A. Icksan adalah cendekiawan yang sejak lama memikirkan peran mahasiswa dalam kancah yang lebih luas.

Prof. Drs. H.M.A. Icksan adalah cendekiawan yang sejak lama memikirkan peran mahasiswa dalam kancah yang lebih luas. Beliau meletakkan mahasiswa sebagai aset bangsa yang harus dipersiapkan dengan baik melalui penyediaan pengalaman-pengalaman yang bermakna, terutama melalui kebebasan akademik. Bekal dan pengalaman yang menempa beliau di bidang organisasi kemahasiswaan, terutama di organisasi ekstra kampus, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), bergejolak ketika kebebasan akademik didegradasi hanya sebagai alat yang justru memberangus kebebasan akademik mahasiswa. Kepedulian beliau terhadap masa depan bangsa melalui pendidikan yang berorientasi ke dalam itulah yang mendorong beliau melahirkan sebuah buku yang padat isi berjudul Mahasiswa dan Kebebasan Akademik, yang salah satu babnya bertajuk “Kebebasan Akademik Di Beberapa Negara Liberal. Tulisan yang disajikan dalam kumpulan karya tokoh-tokoh Universitas Negeri Malang dalam rangka Lustrum ke XII UM tahun 2014 ini bersumber dari buku beliau tersebut.

 

KEBEBASANAKADEMIK DI BEBERAPANEGARALIBERAL

Dalam kenyataan, kebebasan akademik dianggap sebagai sesuatu yang fundamental di universitas, maka konsep tersebut telah menjadi obyek pembahasan dengan berbagai pandangan dan interpretasi yang tidak selalu sama pada beberapa negara. Di Inggris, Kanada dan Amerika terdapat perbedaan-perbedaan tekanan dalam mengartikannya.

Pada garis besarnya kebebasan akademik itu menyangkut dua wilayah perhatian : (1) kebebasan akademik, yaitu kebebasan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tinggi untuk melaksanakan fungsinya tanpa dicampuri oleh kekuasaan luar, (2) kebebasan mimbar akademik, yaitu kebebasan seseorang di dalam universitas untuk belajar, mengajar dan melaksanakan penelitian serta mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan kegiatan tersebut, tanpa ada pembatasan kecuali dari dirinya sendiri.

Sehubungan dengan Kebebasan Akademik ini dapat kita pahamkan masalah tersebut dalam paparan berikut.

Apabila suatu universitas telah memiliki orang-orang yang berkemampuan intelektual tinggi, yang selalu ingin tahu dan kreatif, maka akan selalu ada gagasan- gagasan baru yang timbul dari padanya, yang mungkin akan berbeda dengan pandangan dan keyakinan para pemimpin formal di dalam masyarakat, baik pemuka keagamaan (gereja) maupun para pejabat pemerintahan. Oleh sebab itu, sepanjang perjalanan sejarahnya, tidak jarang universitas-universitas terkemuka telah mendapatkan tekanan-tekanan dari pihak penguasa luar yang membatasi kebebasan mengemukakan pendapat pada sementara sarjana terkemuka. Sejarah penekanan terhadap kebebasan berfikir itu telah berlangsung lama, kadang-kadang dengan cara yang halus dan persuasif, tetapi tak jarang terjadi juga dengan cara-cara yang keras dan kasar.

Gambaran yang tidak terlalu mendetail mengenai hal itu telah menunjukkan perkembangan konsep mengenai kebebasan mimbar akademik tersebut, yang akan memberikan kejelasan kepada kita mengenai persepsi masyarakat kampus terutama pada negara-negara liberal Inggris, Kanada dan Amerika (USA). Pada masa abad pertengahan lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang kuat dan agresip telah menjadi “tuan-tuan” yang memiliki hak dalam menggunakan kebebasan untuk mengemukakan gagasan-gagasan yang “aneh-aneh” dan “tak masuk akal”, kebebasan untuk tetap atau berubah pendapat atau anggapan mengenai suatu kebenaran, dan dengan kebebasan tersebut mereka telah memenangkan suatu tingkat kebebasan filosofis yang tak dimiliki dan tak terdapat dalam lingkungan masyarakat lainnya pada waktu itu. Maka terdapatlah di dalam kampus-kampus itu semacam “kebebasan yang luas sekali dan kepercayaan diri (self-confidence) yang berlebihan”. Keadaan tersebut sebaliknya telah menimbulkan suatu ekses yang berupa “pengkultusan” pada kelompok-kelompok sarjana dan profesor tertentu oleh kelompok penganutnya yang tanpa sadar telah memaksakan suatu. penerimaan loyalitas yang mendekati taklid (membebek) kepada segala pendapat profesornya, sekalipun tak jarang pendapat itu tidak benar dan tidak berdasar, bahkan bohong. Para “vested interest” di kalangan para sarjana dan profesor dengan diam-diam mengembangkan budaya taklid pada para pengikut dan para mahasiswanya. Dengan demikian apa saja yang dikatakan oleh sang profesor atau kliknya harus diterima sebagai kebenaran, tak ada yang berani membantah-nya. Dengan demikian tanpa disadari telah terbentuk “iklim intelektual yang beku”. Para profesor telah menciptakan “kebekuan iklim intelektual” di kalangan para mahasiswanya dan temyata pengaruh iklim tersebut kemudian cukup lama berlangsungnya. Jaman itu biasa disebut sebagai “jaman pendewaan profesor”. Seakan-akan berkembang suatu perasaan yang tertekan di kalangan mereka yang merasakan perlunya berpendapat lain, karena merasa tidak “masuk” dalam kalangan elite guru besar itu, sebagaimana disindirkan sebagai di bawah ini :

Masters should be diligently aware lest, frightened where there is nothing to be feared, they think they, have good reason for being silent where there is none; few are to be found who can be blamed for excess in speaking truth but many indeed for silence”.

Sebagaimana diterangkan di muka, keadaan yang tak sehat seperti itu telah menimbulkan suatu reaksi dari luar, yaitu pihak gereja dan pemerintah yang untuk kepentingan stabilitas, tak dapat menerima dan membiarkan saja keadaan yang anarkistik itu, di mana gagasan-gagasan dan praktek-praktek kehidupannya sering bertentangan dengan kepentingan pemerintah dan gereja yang mewakili nilai-nilai yang berlaku di masyarakat luas.

Secara bertahap dan disengaja berangsur-angsur universitas makin ditempatkan di bawah pengawasan apa yang digagaskan di sana selalu dengan seksama diikuti, disensor dan diarahkan. Masa yang berlangsung lama antara abad pertengahan yang penuh dengan kejayaan kebebasan itu sampai dengan abad ke sembilan belas, telah menunjukkan hilangnya kebebasan yang pernah dimiliki oleh universitas. Sebagai gantinya maka suatu pembenaran atau topangan serta kesejajaran dengan kepentingan agama (gereja) sangat menentukan dan mempengaruhi segala yang dipikirkandigagaskan oleh universitas, yang nampak keadaan itu di Inggris, Kanada dan Amerika Serikat.

Pada masa permulaan abad ke sembilan belas, konsepsi Jerman ‘‘lehrfreiheit” – kebebasan para profesor untuk mengadakan penelitian dan mengajarkan hasil-hasil penelitian tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang mencampuri kewenangannya telah mulai dikenal di Inggris dan di Amerika Utara.

Konsep tersebut merupakan gagasan untuk memberikan baik kebebasan maupun status kepada para dosen dan guru sebagai kelompok profesional dan hal itu telah disambut dengan antusiasme di berbagai kampus. Akan tetapi interpretasi dan penerapannya ternyata sangat berbeda-beda di antara universitas di Inggris, Kanada dan Amerika Serikat. Perbedaan-perbedaan yang timbul itu telah terjadi karena ada hubungannya dengan iklim sosial di masing-masing negara, dan juga oleh perbedaan bentuk pengelolaan universitas sesuai dengan perkembangannya masing-masing.

 Keadaan di Inggris

Perjuangan yang lama untuk mencapai demokrasi parlementer di Inggris, hak- hak sipil dan kebebasan pers, pencatatan akademik yang terpisah dan bebas, dan menanjaknya peranan Partai Buruh telah merupakan kekuatan pendorong yang besar untuk menciptakan iklim yang memungkinkan kebebasan akademik kemudian dapat diterima. Selain itu, sesungguhnya universitas di Inggris itu bersifat lembaga yang elitis, yang telah disesuajkan dengan sifat-sifat masyarakat yang elitis pula. Kelompok sarjana yang tergabung dalam apa yang disebut “Oxbridge-London axis”, yang telah menjadi acuan segala macam pranata kehidupari akademik, yang telah dimantapkan kembali pada tahun 1960-an. Kelompok tersebut merupakan suatu asosiasi informal dari para elite. Dan semboyannya adalah seorang elite harus dapat mempercayai elite lainnya. Beberapa kebiasaan yang eksentrik dan gagasan-gagasan yang tak kolot adalah merupakan sebagian dari tradisinya dan dapat dibenarkan (tolerated) selalu dengan harapan bahwa segalanya harus dapat dikontrol (oleh kelompok itu sendiri). Di Inggris telah menyediakan lahan yang subur bagi persemaian dan pertumbuhan tradisi masyarakat akademik dalam mengajar, menelaah dan berbicara dalam kaitan dengan “kebebasan” yang umum.

Tingkat otonomi, swakelola serta kemandirian yang telah tercapai oleh universitas di Inggris merupakan faktor yang ikut menentukan kebebasan akademik itu. Para profesomya telah menyusun atau setidak-tidaknya sangat berpengaruh dalam penyusunan “aturan main”, etos dari masyarakat akademiknya, serta watak universitasnya. Para guru besarnya (dosennya) merupakan instrumen dalam menciptakan suatu jenis lingkungan hidup dengan iklim yang memungkinkan mereka dapat bekerja dengan efektif melaksanakan fungsi dan misinya. la merupakan suatu masyarakat di mana kebebasan kegiatan ilmiah dan pengajaran merupakan hal yang esensial. Maka dengan sendirinya keadaan itu telah menjadi suatu kondisi yang sangat menguntungkan bagi adanya toleransi yang tinggi terhadap keragaman intelektual, gagasan-gagasan baru, eksentrisitas sikap pemikiran dan penampilan watak. Keadaan itu sangat dibanggakan sebagai “trade mark” yang harus diagungkan dan dipertahankan mati-matian.

Juga di Inggris dapat terjadi keadaan, yang memungkinkan munculnya kembali konsep abad pertengahan mengenai “masyarakat yang swakelola, yang mandiri, yang bebas untuk menentukan apa-apa yang akan diajarkan, yang memberi kebebasan para guru untuk mempunyai pandangan dan pendapatnya sendiri terhadap semua topik yang diajarkan, betapapun mungkinnya akan terjadi pandangan yang kontroversial terhadap suatu hal. Akibatnya adalah bahwa kebebasan akademik yang bersifat individual itu pada abad ke dua puluh tidak pemah menjadi isu di Inggris. Kebebasan itu telah mapan dan diterima secara umum baik oleh kalangan universitas maupun di kalangan masyarakat luas.

Secara umum kebebasan universitas di Inggris termasuk kebebasan akademik para dosennya dikagumi orang di mana-mana. Namun, bagaimana kenyataannya dalam praktek kehidupan yang nyata, hanya dapat diketahui oleh mereka yang terlibat langsung di dalamnya. Dilihat dari sudut mereka ini, memang ada ketidaksesuaian yang terjadi. Dewan Kebebasan Akademik dan Demokrasi (CEFD) di Inggris, telah menemukan adanya inkonsistensi katakanlah penyalahgunaan kebebasan tersebut.

Para profesor senior pada sebagian besar universitas di Inggris, sebagai kelompok “tokoh-tokoh mapan’’ yang sangat berkuasa, telah banyak melakukan manipulasi dalam penerimaan tenaga baru dan kenaikan pangkatnya, hal itu dilakukan untuk mempertahankan serta menyelamatkan posisi kelompok guru besar itu sendiri dan membiarkan keadaannya selalu dalam keadaan status quo.

Dewan tersebut menjumpai kenyataan bahwa pada tahun 1970 universitas di Inggris telah menjadi “luntur”, tak lagi teguh berpegang pada doktrinnya. Dalam sidangnya pada tahun 1972, ketua dewan tersebut menunjukkan adanya surat dari seorang pimpinan perguruan tinggi yang punya prestise akademik, yang sedang mencari tenaga-tenaga pengajar baru dengan mempertanyakan “Bagaimana sekiranya para calon dosen baru itu seorang yang radikal?”. Bagi dewan tersebut, hal itu merupakan pertanda bahwa kebebasan akademik yang murni sudah mulai diragukan sendiri oleh universitas, dan gejala kecenderungan itu merupakan masalah yang serius dalam pandangan Dewan. Dewan tersebut berupaya sungguh-sungguh untuk selanjutnya tetap mempertahankan konsep “kebebasan akademik” itu dalam artinya yang fundamental. Sebelumnya pada akhir tahun 1960-an telah berhembus nafas baru di kalangan kampus, sehubungan dengan tradisi yang telah melembaga dengan kuat itu. Gejala anggapan baru itu lebih dahulu terjadi di Kanada dan Amerika Serikat yang mulai mengadakan pemikiran-ulang serta batasan-ulang (redefination) mengenai segala sesuatu yang termasuk dalam cakupan pengertian “kebebasan akademik” itu.

Keadaan di Kanada

Kanada hampir serupa tradisinya dengan Inggris. Tetapi sedikit kurang liberal dalam pemikiran sosialnya, tidak begitu elitis dalam coraknya, dan di dalam lingkungan universitas membolehkan berkurangnya otoritas para guru besarnya dalam penetapan kebijakan. Pada saat itu Partai Komunis yang berdiri pada tahun 1921 yang resminya disahkan pada tahun 1922, diduga ada sangkut paut dan pengaruhnya terhadap masalah kebebasan itu. Para guru besar dari University of Toronto dan McGill University telah membentuk “Liga Bagi Rekonstruksi Sosial” (League for Social Reconstruction) pada tahun 1932, dan organisasi ini menghasilkan para pengajar yang beraliran kiri (left-wing) yang memberi dukungan pada pembentukan Partai Sosialis (the CCF) pada tahun itu juga. Partai ini dengan dukungan beberapa sarekat sekerja dan organisasi para petani, telah memenangkan sejumlah kursi dalam parlemen, yang kemudian telah menyediakan kekuatan bagi beberapa badan legislatif daerah. Adalah pahit sekali untuk menerima kenyataan itu, karena pada kenyataannya kelompok ini jarang mendapat dukungan lebih dari 20% penduduk Kanada. Hal itu tak dapat dikatakan bahwa orang-orang Kanada tidak punya toleransi kepada aspirasi politik kaum liberal maupun kaum yang berpandangan kiri. Dan di dalam universitas para guru besar Kanada memiliki otoritas terhadap program-program akademik. Mereka itu bukan merupakan anggota penuh dari universitasnya, seperti juga rekan-rekannya di Inggris (sebab mereka tidak akan mungkin menjadi anggota dari “board of governors”), tetapi mereka juga tidak dianggap semata-mata sebagai pegawai (employees), sebagaimana yang biasa berlaku di Amerika Serikat. Para guru besar Kanada dalam hal ini dapat dianggap sebagai “hybrid” yaitu anggota dan sekaligus pegawai, tetapi dalam artian yang sebenamya mereka bukan termasuk keduanya. Karenanya, mereka berada dalam posisi yang siap digunakan dan sering telah digunakan untuk membela dan mempertahankan konsep kebebasan akademik. Pada tahun tigapuluhan dan sesudahnya telah terjadi suatu serangan terhadap universitas supaya bersedia menjadi “pangkalan” kaum radikal, dan mereka yang akan menyuarakan tantangan terhadap kekuasaan Inggris di Kanada. Kemudian Board of Governors menganggap perlu untuk mendepak “man who poison the minds of (our) finest young man and women”. Namun, pada umumnya secara keseluruhan masih tetap dipertahankan adanya kebebasan berbicara di dalam lingkungan universitas maupun di masyarakat. Ada suatu kasus yang terkenal, yang menyangkut diri profesor Frank Anderhill, yang bertolak dari dasar pidatonya yang dilaporkan secara kurang lengkap yang sesungguhnya jauh dari niat tak bertanggung jawab, telah dipaksa untuk minta berhenti oleh Rektornya dan oleh Board of Governors Universitas Toronto. Tentu saja sang profesor ini menolaknya. Banyak pihak yang memberikan dukungan kepadanya, sehingga akhirnya ia masih tetap pada posisinya hingga kemudian ia pensiun secara wajar.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sampai pada tahun 1960-an terdapat tingkatan iklim kehidupan kebebasan akademik yang sehat di universitas-universitas di Kanada, tetapi hal itu tidak dapat diartikan sama terhadap para profesornya. Para profesomya cenderung untuk mempertanyakan dan menguji kembali tingkat kebebasan akademik yang dapat ditolerir. Sesudah tahun 1960-an situasinya ternyata berubah, sebagaimana juga terjadi di Inggris.

Keadaan di Amerika Serikat

Situasi di Amerika temyata sangat berbeda. Iklim sosialnya ternyata menanggapi pikiran-pikiran baru dengan cara-cara yang kurang bersahabat. Pengalaman pertentangan agama versus ilmu yang panjang dan kontroversial, menyatakan diri secara karakteristik dalam peristiwa yang dikenal dengan nama “Scopes trial” pada tahun 1925, (debat mengenai isu ini nampaknya mencapai puncaknya di Oxford pada tahun 1980) yang merupakan sisa-sisa dari perkembangan partai ketiga dalam kehidupan politik di negara itu, dan suatu sikap memusuhi terhadap paham politik yang radikal telah mendorong terciptanya iklim kebebasan akademik yang tak menentu. Kemudian ditambah dengan adanya bentuk pemerintahan yang pada tingkat tertentu memungkinkan universitas dikuasai oleh kelompok pedagang yang konservatif, telah menyebabkan kelompok radikal mendapat angin di kampus-kampus untuk melaksanakan petualangan politiknya. Adalah justru di Amerika Serikat, perjuangan untuk memperoleh kebebasan akademik itu dilakukan dengan susah payah dan tidak jarang mengambil bentuk- bentuk pertentangan yang dramatis.

Memang terdapat kemajuan sekitar tahun 1960-an bagi para guru besar, ketika kelangkaan pengajar melanda pendidikan tinggi negeri itu, sehingga para guru besar dapat kesempatan untuk memperkuat posisinya dalam tawar-menawar kontrak kerja, yang barangkali merupakan masa-masa terbaik dalam sejarah profesi guru besar itu di negeri Uncle Sam ini sepanjang sejarahnya. Akan tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung lama; bahkan cenderung tidak ajeg dan makin memburuk. Suatu kemenangan segera diikuti oleh kekalahan; satu universitas ingin mendapatkan kebebasan yang lebih luas, sementara ternyata banyak yang lain bahkan menolaknya. Kadang-kadang hambatan-hambatan berlangsung demikian kerasnya dan dengan cara-cara terbuka, pada kali lain hambatan itu berlangsung secara tertutup. Pada universitas-universitas yang terkemuka di Amerika pada awal abad keduapuluh ini terdapat tingkat kebebasan akademik yang hampir sama dengan rekan-rekannya di Inggris, namun pada masa-masa berikutnya keadaan tersebut tak mampu bertahan menghadapi berbagai tantangan. Ada baiknya kita ikuti beberapa ilustrasi mengenai hal itu.

Pada tahun 1894 Richard T. Ely, seorang ekonom terkemuka pada Universitas Wisconsin, telah dipersalahkan karena meyakini kebenaran “hak mogok dan boikot, ikut mendorong dan membenarkan seseorang ketika ia melakukan pemogokan itu”. Akibatnya ia harus berhadapan dengan committee of regents, sesuai dengan harapan kaum konservatif, agar guru besar itu dipecat.

Namun ternyata sebaliknya, komite itu akhirnya memutuskan untuk membebaskan guru besar itu dari tuduhan berbuat pelanggaran, bahkan lebih dari itu, komite menunjuk kembali serta memantapkan berlakunya deklarasi, yang diacukan pada “Wisconsin Magna Charta”, suatu dokumen yang terkenal pada masa itu, antara lain sebagai berikut.

Sebagai pengelola universitas yang meliputi ratusan pengajar dan yang didukung oleh hampir dua juta penduduk yang memiliki keragaman pandangan terhadap masalah-masalah. Besar kemanusiaan yang menjadi tantangan pikiran manusia, tak sesaat pun kami berpikir untuk membenarkan tindakan pemecatan, ataupun bahkan andai kata kritik yang disampaikan oleh dosen tersebut untuk sebagiannya dianggap sebagai khayalan belaka. Hal itu berarti sama dengan mengatakan bahwa tak ada seorang guru besar pun yang akan mengajarkan sesuatu yang tak dapat diterima oleh setiap orang sebagai kebenaran. Hal itu berarti akan memotong-motong kurikulum menjadi bagian-bagian yang terlepas-lepas. Tidak sesaat pun kita percaya bahwa pengetahuan iu telah sampai pada tujuan akhirnya atau bahwa masyarakat sekarang ini sudah mencapai tingkat kesempurnaannya. Oleh karena itu kita harus menyambut baik diskusi-diskusi yang berasal dari para pengajar yang menyarankan cara- cara dan menyediakan jalan yang akan memperluas ilmu pengetahuan kita, membuang yang buruk dan mempertahankan yang baik. Kita merasa bahwa kita akan berlaku tidak jujur terhadap kedudukan kita manakala kita tidak mempercayai adanya kemajuan pada semua bagian ilmu dan pengetahuan. Pada semua garis penelaahan akademik harus disadari pentingnya para penelaah untuk bersikap sepenuhnya bebas untuk mengikuti pertanda kebenaran, ke mana pun tanda-tanda itu akan mengarahkannya. Keterbatasan apa pun yang mungkin ada dan menghambat upaya untuk mencari kebenaran, kita selalu yakin bahwa universitas Wisconsin yang agung akan selalu mendorong semangat penjelajahan dengan penuh keberanian untuk meneruskan penelaahan, dan hanya dengan cara itulah kebenaran akan dapat ditemukan

Suatu kesudahan yang berlawanan dengan kasus tersebut di atas adalah, suatu peristiwa yang terjadi beberapa tahun kemudian di Universitas Stanford, yang menimpa diri seorang profesor yang terkemuka E. A. Ross, yang telah berbicara dan menulis dengan cara yang seakan-akan menentang Mrs. Leland Stanford, janda dari pendiri universitas tersebut, yang telah dipakai namanya bagi universitas itu serta merupakan sponsor tunggal yang membiayainya. Ross adalah sarjana yang selalu menaruh perhatian yang langsung kepada berbagai interes di dalam masyarakat, dan mempunyai kecenderungan untuk selalu mengemukakan pendapatnya secara terbuka pada isu-su yang kontroversial. Maka jelaslah bahwa Rektor universitasnya berusaha untuk membela Ross, akan tetapi ia berada di bawah tekanan yangsangat kuat dari Mrs. Stanford sehingga terpaksa ia harus tunduk pada keinginannya dan pada tahun 1900 meminta supaya Ross dipensiun saja. Mungkin ada yang mengharapkan bahwa akan terjadi gelombang protes serta pembelaan terhadap Ross, baik oleh kalangan rekan-rekannya di Stanford ataupun di mana saja. Namun apa yang terjadi antara lain seperti: pemecatan Ross itu telah dijadikan pokok pemberitaan pers di seluruh negeri; 7 orang rekannya mengajukan protes; dan American Economic Association memutuskan untuk mengadakan penelitian kasus tersebut lebih lanjut.

Untuk sementara nampaknya seakan-akan timbul gerakan pembelaan yang cukup memadai untuk memaksa pimpinan universitas mengubah keputusannya. Tetapi mayoritas pengajar Stanford malah mendukung kebijaksanaan Rektomya. Penelitian Assosiasi Ekonomi tidak membuahkan hasil yang berarti, dan Ross tetap saja dipecat. Perjuangan mereka tetap mengalami kekalahan. Tetapi kasus kebebasan akademik itu tetap saja terus berkembang, melalui diskusi yang luas di lingkungan universitas maupun di kalangan pers, yang dipusatkan pada persoalan makna kebebasan akademik. Hal itu merupakan kasus yang paling termashur pada peralihan abad yang lalu, dan yang telah pasti memperkuat kedudukan para guru besar yang ingin memperoleh kepastian kebebasan bagi kelompoknya untuk melakukan penelitian, mengajar dan menulis, serta mengemukakan pendapat yang berhubungan dengan bidang keahliannya.

Selama perang dunia pertama emosi menjadi meningkat sekali dan tekanan untuk loyalitas warga negara sangat besar termasuk di dalam lingkungan kampus. Namun ada universitas terkemuka yang tidak mau memperdulikannya. Salah satu kasus yang pertama menyangkut pribadi Profesor Munsterberg, dosen yang disegani di Harvard. Sebelum mereka memutuskan perang dengan Jerman, sang profesor mempersoalkannya secara terbuka, dengan penuh kewibawaan serta integritas keilmuannya. Namun publik yang luas memberikan reaksinya, dan menganggap guru besar ini telah “meracuni serta menganjurkan para mahasiswa supaya pro- Jerman” dan mendesak supaya profesor itu dipecat. Namun pimpinan universitas menolak untuk memecatnya, sampai akhirnya profesor ini pensiun pada tahun 1916 secara wajar.

MEMANTAPKAN KEBEBASANAKADEMIK

Dari beberapa contoh yang kontroversial tersebut, dapat diketahui bahwa telah terjadi perjuangan untuk memantapkan kebebasan akademik, dengan meningkatkan perhatian publik terhadap masalah pentingnya kebebasan akademik itu di dalam kehidupan kampus. Situasi seperti di Harvard itu dan pada beberapa universitas lainnya temyata telah berlangsung tanpa ada dukungan yang positif dari masyarakat, bahkan seringkali sebaliknya yang terjadi, sedang guru besar yang bersangkutan selalu pada pihak yang diserang dan disalahkan.

Sementara pada universitas-universitas yang kuat sekali berpegang pada konsep kebebasan akademik itu, senantiasa ada rongrongan dari pihak luar untuk mengubahnya. Sedangkan pada universitas yang tidak memperdulikan masalah kebebasan itu tak pemah ada masalah apa-apa. Ketidakpastian kedudukan kebebasan akademik itu di Amerika dapat ditunjukkan oleh dua macam kejadian di bawah ini: yang pertama adalah apa yang dikenal sebagai “oath controversy” (pertentangan mengenai ikrar) pada University of California, yang berlangsung beberapa tahun antara akhir tahun empatpuluhan sampai dengan awal tahun limapuluhan.

Board of regents universitas itu yang menanggapi menaiknya semangat anti komunisme, telah menyarankan kepada senat universitas bahwa para dosen diwajibkan untuk mengucapkan ikrar jabatan, sebagai berikut :

I do not believe, and I am not a member of, not do I support any party or organization that believes in, advocates, or teaches the overthrow of the United States Government, by force or by any illegal or unconstitutional methods; that I will support the Constitution of the United States and the Constitution of the States of California, and that I will faithfully discharge the duties of my office according to tire best of my ability”.

Reaksi pertama dari para dosennya nampaknya akan menerima persyaratan ikrar tersebut, namun di dalam pelaksanaannya ternyata banyak pertanyaan yang diajukan mengenai persoalan itu, dan sekelompok kecil para penentang mengorganisasikan dirinya. Pihak yang pro maupun yang kontra masing-masing mengemukakan argumentasinya. Pihak yang setuju mengemukakan alasan, bahwa Uni Sovyet dan Partai Komunis menentang kebebasan mengemukakan pendapat. Sebaliknya pihak yang kontra, mengemukakan alasan sebagai berikut :

“Apabila seorang pengajar secara pribadi menganjurkan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan, apabila dia menggunakan kelasnya sebagai forum guna penyebaran komunisme, atau dengan cara lain menyalahgunakan hubungannya dengan para mahasiswa untuk mencapai maksud- maksud politiknya; apabila pemikirannya itu lebih daripada kecenderungan biasa atau bersifat sama sekali tidak kritis sebagai bukti dari ketidakmampuan profesional; semuanya itu akan membawa akibat yang akan ditanggungnya. Apabila dalam pemeriksaan ternyata dia hams ditindak disebabkan oleh karena perilakunya yang tidak loyal itu, atau karena ketidakprofesionalannya, dan bukan karena dia kebetulan seorang komunis.

Selama partai itu tidak dilarang di Amerika sebagai partai yang legal, afiliasi dengan partai itu tak dapat dipakai sebagai alasan pembenaran untuk mengucilkan dia dari profesi akademik”. Debat mengenai hal itu makin meluas. Akhirnya pemerintah negara bagian California mengharuskan semua staf akademiknya untuk menandatangani ikrar tersebut. Dan sebagai akibatnya tigapuluh dua orang yang tak bersedia menandatangani ikrar itu diberhentikan dari jabatannya.

Berbagai reaksi timbul berhubung dengan adanya tindakan tersebut. Ada yang setuju, ada yang tidak, tetapi ada pula yang bersikap indifferent terhadap seluruh kontroversi itu. Yang menolak menganggap tindakan itu sebagai upaya melestarikan kekuasaan para administrator semata-mata, sebaliknya yang setuju bahkan menganggap bahwa tindakan itu justru untuk menyelamatkan kebebasan akademik dari penyalahgunaan yang tidak bertanggung jawab oleh orang-orang, terutama orang-orang komunis.

Peristiwa yang kedua adalah kasus tindakan dari Committee Senat Amerika Serikat terhadap orang-orang yang melakukan tindakan “tak-Amerika” (un- American activities). Komite Senat itu diketuai oleh senator McCarty, yang mela- kukan penyelidikan terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam kegiatan kaum komunis atau yang telah menjadi anggota partai komunis. Akibat dari tindakan tersebut telah timbul rasa saling curiga yang meluas di berbagai kampus.

Sebagai gambaran patut dikemukakan kejadian di Harvard, karena kampus itu memiliki prestise yang tinggi, orang-orangnya banyak yang berkedudukan tinggi, dan punya kestabilan yang mantap. Alam tetapi pada tanggal 5 November 1953 McCarty menuduh bahwa di Harvard terdapat “smelly mess” dan bahwa para mahasiswanya telah diberi indoktrinasi oleh para guru besamya yang berpaham komunis. Pada tahun 1954, Rektor menyampaikan pidato mengenai “Kebebasan, Loyalitas dan Universitas Amerika”, yang bukan hanya ditujukan pada Harvard saja, tetapi pada seluruh universitas di Amerika. Dia menganggap bahwa seorang komunis tidak akan dapat mengajar di universitas yang bebas.

Dari kasus-kasus penyalahgunaan kebebasan akademik itu, dapat ditarik kesimpulan umum, bahwa pada akhirnya tergantung pada faktor subyektif dari si guru besar. Kita harus jelas-jelas dapat membedakan antara (I) keyakinan pribadi sang profesor, dan (2) perilaku profesional sang profesor. Sampai pada tahun 1960-an telah timbul problema baru di Amerika, yang menunjukkan bahwa mereka belum dapat memecahkan secara tuntas masalah kebebasan akademik itu, atau bagaimana kebebasan itu akan diterapkan pada situasi baru yang kompleks.

Pada tahun 1972, seorang guru besar H. Bruce Franklin, telah dipecat setelah diperiksa dalam waktu yang cukup lama oleh badan pertimbangan fakultasnya. Guru besar tersebut telah dianggap menghasut dalam kuliah-kuliahnya yang kemudian telah mendorong timbulnya demonstrasi di kampus itu. Terhadap penyalahgunaan kebebasan akademik itu oleh badan pertimbangan itu diingatkan bahwa :

“The code of the institution does, however, demand that the speech and conduct of a profesor stay behind the line of inciting or physically causing the impairment of the institution functions, especially its function as form in which various other points of view can also be heard…….”

Sekelompok kecil beranggapan bahwa mereka setuju menindak segala kekerasan, tetapi mereka menolak untuk melakukan pemecatan terhadap dosen yang dianggap melakukan hasutan itu, sebab mereka beranggapan bahwa keadaan di luar kampuslah yang menjadi sebab utama tindak kekerasan tersebut. Hal itu telah membawa fokus baru terhadap masalah konflik pendapat itu.

Postur tradisional dari seorang profesor adalah sebagai ilmuwan-sarjana ia harus netral, obyektif, tidak ada perhatian terhadap kegiatan politik (disinterested in political activity) yang sesungguhnya berdasarkan kedudukannya itu ia baru berhak menggunakan kebebasan akademiknya. Tetapi jika kemudian perhatiannya sudah terbelokkan oleh dan mengenai aspek-aspek kegiatan yang bersifat politik, yang punya kaitan dengan suatu aspirasi politik, maka sesungguhnya ia telah kehilangan haknya sebagai seorang profesional yang memiliki hak kebebasan akademik, karena sesungguhnya hak itu telah ditiadakannya sendiri. la telah berbicara dan berperilaku di luar cakupan bidang keahliannya.

Berhubung dengan adanya kasus-kasus pemecatan tersebut, maka perlu diadakan ketentuan yang menjamin hak-hak beladiri dari seorang guru besar yang didakwa telah menyalahgunakan wewenang profesionalnya secara tidak bertanggung jawab di hadapan suatu forum sejenis badan pertimbangan yang dapat memberikan pertimbangan yang obyektif, kepada yang berwenang (Rektor) yang akan memberikan putusan akhir mengenai tindakan yang perlu diambil. Suatu sanksi seperti itu dikenakan sebagai upaya untuk menyelamatkan kebebasan akademik, yang dianggap sebagai prasyarat yang fundamental bagi pelaksanaan fungsi universitas sebagai lembaga ilmiah. Mereka sadar bahwa penggunaan kebebasan akademik bukan tanpa ada batas-batas, yang dikaitkan dengan rasa tanggung jawab pemakaiannya. Sebab di dalam prakteknya para guru besar sendiri yang melakukan penyalahgunaan itu, baik dengan sadar maupun tidak, sesuai dengan pengertiannya (tafsirannya) masing-masing yang ternyata masih berbeda-beda.

Diakui memang guru besar itu mempunyai hak akan kebebasan akademik dan berhak mendapat kepastian. Namun sebaliknya, dia harus mempunyai rasa tanggung jawab profesional terhadap mahasiswanya, rekan-rekannya, almamaternya, profesinya dan kepada masyarakatnya. Dan itulah yang merupakan “keterbatasan- keterbatasan” yang obyektif yang harus diketahui dan dimiliki sebagai bagian dari integritas profesionalnya. Dengan demikian dia tidak akan sembrono berbicara dan berpendapat mengenai suatu persoalan di luar bidang keahliannya di dalam kesempatan dan forum-forum profesional.

Semula orang menyangka dan berharap, dengan adanya perdebatan dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan kasus ‘‘kebebasan akademik” itu, selama setengah abad masalahnya telah menjadi jelas dan jernih (clear). Namun ternyata tidak atau belum, masih saja terjadi perbedaan-perbedaan pendapat pada konsepnya sendiri. Hal itu justru terjadi di Amerika Serikat, antara lain disebabkan juga karena konsep-konsep lama mengenai “academic freedom” itu, sudah dianggap tidak cocok lagi dengan situasi kemasyarakatan yang baru, yang sifatnya jauh lebih kompleks, terutama sesudah tahun 1960-an. Orang mulai meragukan prinsip-prinsip kebebasan akademik yang sudah mapan selama ini. Adapun masalah-masalah baru yang menyangkut prinsip-prinsip yang mulai goyah itu adalah sebagai berikut.

(1)   Apakah seorang profesor itu bebas meneliti, menulis, mengajar dalam bidang keahliannya di kampus secara tak terbatas tanpa persyaratan tertentu?

(2)   Apakah sang profesor itu memiliki kebebasan yang sama untuk mengemukakan bidang keahliannya sebagaimana di dalam kampus, sekiranya hal itu dilakukan di masyarakat di kalangan awam di luar kampus?

(3)   Apakah profesor itu bebas berbicara di kelasnya di kampus mengenai isu yang kontroversial, yang berada di luar bidang keahliannya, dan kemudian mengambil langkah keputusan untuk hal itu?

(4)   Apakah profesor itu bebas menulis, bebas bicara kepada masyarakat awam mengenai isu yang kontroversial dan kemudian mengambil langkah yang sesuai untuk pendapatnya itu?

Mengenai kebebasan dalam mengajar dan melaksanakan penelitian, maka sehubungan dengan isu yang pertama dan kedua di atas, pada umumnya diterima orang secara positif (disetujui). Hal itu tercermin dalam laporan yang dikemukakan oleh Powell, Rektor Universitas Harvard pada tahun 1916 -1917 yang antara lain sebagai berikut :

The teaching by the profesor in his classroom on the subject within the scope of their chair ought to be absolutely free. He must teach the truth as he has found it freedom, and any violation of it endengers intellectual progress…”

Selanjutnya mengenai kebebasan untuk mengemukakannya kepada masyarakat secara terbuka, Rektor itu mengatakan sebagai berikut:

Every profesor must … be wholly unrestrained in publishing the result of his study in the field of his profesorship. It is needless to that for the dignity of his profession, for the maintenance of its privileges, as well as for his own reputation among his fellows, whatever he writes or says on his own subject should be uttered as a scholar, in a scholarly tone and form. This is a matter of decorum, not of discipline; to be remedied by suggestion, not by a penalty”.

Suatu hal lagi yang masih menjadi masalah yang belum disepakati adalah sesuatu yang dipandang fundamental, yaitu: apakah seorang profesor itu bebas untuk mengajarkan kesimpulan dan pendapatnya sendiri, apakah dia dipersyaratkan juga harus menyampaikan kepada mahasiswanya. Pendapat ahli yang lain, sekalipun pendapat itu bertentangan dengan pendapatnya sendiri? Sebagaimana diketahui assosiasi profesional telah mengharuskan bahwa profesor harus bersikap obyektif dan netral, tidak boleh mempengaruhi mahasiswanya, dan tak boleh memanfaatkan prioritasnya untuk mengambil keuntungan pribadi, terhadap para mahasiswa maupun publik, dasar dari integritas kesarjanaan adalah sikap “pemisahan diri” dan ‘keobyektifan”, yang harus dipegang teguh dalam proses penelitian, pengajaran dan publikasi yang dilakukannya. Pada tahun 1960-an tradisi itu telah mengalami tantangan prinsipal, yaitu dihadapkan pada suatu anggapan bahwa: objektivitas adalah (tidak lebih dari) suatu mitos; mengajar tanpa menilai (non-evaluatif) adalah tidak mungkin; belajar secara kognitif yang murni adalah nonsense. Apa yang penting hakekatnya adalah kepercayaan, keyakinan dan perasaan pribadi.

Hal itu berarti bahwa seorang profesor tak berhak untuk menuntut pengakuan mutlak pada superioritas keahlian atas bidang ilmunya. Sebaliknya dia harus mampu mengkombinasikan serta menata skeptisisme dan universitalitas pada proses aplikasinya mengenai obyektifitas terhadap bidang keahliannya sendiri, tetapi tetap dengan kesadaran adanya batas-batas yang jelas antara bidang keahliannya dengan bidang lain di luar keahliannya.

Suatu tantangan yang lain terhadap kebebasan akademik di dalam lingkungan kampus di Amerika, Inggris dan Kanada terjadi pada akhir tahun enam puluhan sampai awal tahun tujuh puluhan, ketika beberapa pembicara mengemukakan teori yang kontroversial menyangkut bidang yang peka, yaitu mengenai peranan dari faktor genetik yang mempengaruhi intelegensi. Sekelompok mahasiswa menentang pembicaraan topik tersebut di kampus, dengan alasan, bahwa : supremasi kulit putih dan inferioritas rasial tidak perlu lagi diperdebatkan. Sejarah telah mengajarkan bahwa gagasan tersebut akan membawa konsekuensi-konsekuensi, bahwa pemisahan pikiran dari tindakan adalah suatu gambaran yang sengaja direka-reka, untuk membenarkan serta melindungi idedogi borjuis, untuk menghambat kekuatan opposisi supaya tidak lagi efektif, dan apa yang sesungguhnya hendak dikatakan oleh para pembicara itu mempunyai effek menentang program-program yang hendak mengurangi ketidaksamaan perlakuan rasial di dalam masyarakat.

Para sarjana yang dilarang berbicara itu adalah para sarjana yang bereputasi dari universitas yang terkemuka, dan sama sekali tak punya kecenderungan politik dan sikap-rasial. Akibatnya mereka itu dicap sebagai “racists” dan dilarang untuk berbicara. Isunya bukanlah soal keabsahan penelitiannya, dan mestinya padanya harus diberikan kebebasan untuk menyampaikan hasil-hasil penelitiannya. Di kampus-kampus memang terdapat kelompok-kelompok yang vokal dan efektif yang menolak kehadiran para sarjana itu serta menolak memberinya kebebasan akademik. Hal itu telah menusuk jantung kebebasan akademik. Apabila kebebasan itu ditolak dengan alasan yang tidak populer seperti itu, maka timbullah tanda tanya : lalu apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan kebebasan akademik itu? Sekalipun ada beban tekanan pandangan yang tak populer itu, masih tetap hak kebebasan untuk mengemukakan hasil penelitian itu diikuti oleh para sarjana. Tetapi sebagai akibatnya telah timbul berbagai macam ketjdaksesuaian dan pertentangan mengenai posisi penyam-paian hasil penelitian itu.

Di dalam lingkungan masyarakat akademik sendiri telah timbul tantangan mengenai anggapan bahwa ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui penjelajahan tanpa batas terhadap kebenaran pada setiap bidang ilmu. Pada awal tahun tujuhpuluhan dipertanyakan oleh sementara ilmuwan : “Adakah wilayah penemuan yang dapat ditempatkan dalam serba keterbatasan ?” Pertanyaan itu ada hubungannya dengan karya para ahli fisika yang membawanya kearah peletakan dasar bom atom dan yang menurut istilah J. Robert Oppen-Heimer sampai kepada “know sin” (agaknya yang dimaksud: dosa karena mengetahui), bagi para ahli genetika berhubung dengan perekayasaan manusia, bagi para antropolog yang tulisan-tulisannya telah dipakai oleh berbagai pemerintah untuk membenarkan pengucilan sekelompok minoritas suku-bangsa. Isu tersebut kemudian telah didramatisasi pada universitas California di Berkeley pada tahun 1973, ketika kebijakan baru mempersyaratkan para peneliti untuk mempertimbangkan masak- masak sebelumnya segala prosedur penelitiannya, sedemikian sehingga “jangan sampai menempatkan reputasi atau status dari sekelompok sosial atau lembaga tertentu dalam bahaya (karena penelitian itu)” dan menyarankan supaya para peneliti “bertanya pada diri sendiri lebih dahulu bagaimana penemuan-penemuannya itu akan melibat atau disampaikan kepada orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok-kelompok berkedudukan tertentu …”.

Dalam tradisi kesarjanaan telah diterima suatu anggapan bahwa tanggung jawab para sarjana tidak sampai jauh melampaui hasil penelitian serta pelaporannya. Akan diapakan hasil-hasil penemuan itu sepenuhnya menjadi tanggung-jawab orang lain yang menggunakannya. Sejak dulu pun anggapan itu sudah demikian. Akan tetapi kemudian, sejak penelitian itu mendominasi berbagai bidang kehidupan, tanggung jawab moral telah ikut dilibatkan ke dalam proses kegiatan penemuan ilmu pada beberapa wilayah pengetahuan yang mungkin bisa mencemarkan nama ilmuwan. Secara luas disepakati bahwa penelitian yang merugikan umat manusia atau melanggar kepentingan pribadi seseorang dianggap tidak etis. Akan tetapi apakah masih ada lagi keterbatasan-keterbatasan lainnya ?

Mengenai kebebasan mimbar akademik di kampus dan di masyarakat, dalam kaitannya terhadap dua isu yang telah diutarakan di muka, yakni kebebasan guru besar untuk mengemukakan pendapatnya mengenai topik yang bukan menjadi bidang keahliannya di muka kelas maupun di masyarakat, penilaian orang juga berbeda-beda.

Ada sebagian kecil pihak yang tidak berkeberatan bilamana seorang guru besar berbicara tentang masalah yang bukan termasuk dalam bidang keahliannya di forum akademik maupun di masyarakat, lebih-lebih bila dilihat dari sudut kedudukannya sebagai warga negara biasa. Tetapi sebaliknya untuk sebagian besar pendapat umum di kalangan kampus maupun di masyarakat tidak dapat menyetujuinya, dan menganggap guru besar itu telah melanggar batas kebebasan akademik, melanggar etika jabatannya, dan telah bertindak secara tidak bertanggung jawab.

Powell, Rektor Universitas Harvard yang terkenal dengan pernyataan mengenai kebebasan akademik, antara lain menyatakan demikian :

Masalah yang berat, dan perasaan-perasaan yang kuat telah timbul disebabkan oleh tindak seorang profesor pada bidang di luar keahliannya dan dilakukan di luar forum akademik. Dia menganggap dirinya telah berbicara sebagai warga negara biasa. Pada waktu pengangkatannya sebagai guru besar dia tidak menerima hak dan kewenangan yang sebelumnya ia tak memilikinya. Tetapi sekarang ini telah timbul anggapan yang nyata-nyata berbeda mengenai persoalan hilangnya hak seseorang yang dia ingin menikmatinya. Alasan pihak yang tidak membenarkan di kalangan penguasa universitas didasarkan alas kenyataan yang secara ekstrim dan yang tak dapat dipegang secara hukum telah menimbulkan sentimen masyarakat, sebagai akibat dari pernyaan profesor tadi, yang pada gilirannya akan merugikan nama baik serta integritas lembaga di mana profesor itu terikat. Kenyataan itu benar, dan kadang-kadang sang profesor itu dengan demikian telah melakukan tindak merugikan tanpa ditopang oleh suatu pembenaran ilmiah sama sekali. Apabila misalnya dia mempublikasikan suatu artikel mengenai ketiadaan manfaat dan akibat yang merugikan dari vaksinasi, dan menandatanganinya sebagai profesor dari suatu universitas, ia telah mengarahkan serta mempengaruhi publik untuk mem- percayai, bahwa pendapat itu berasal dari orang yang mempunyai kewenangan mengenai bidang tersebut, dan telah disetujui oleh lembaganya serta telah diajarkan kepada mahasiswanya. Apabila sebenarnya dia adalah profesor dalam bidang bahasa Yunani, maka berarti dia telah menipu dan membohongi masyaraktnya dan telah salah menampilkan universitasnya, yang mungkin tidak akan dilakukannya sekiranya dia mau berterus terang menyatakan identitasnya sebagai profesor dalam bidang ilmu apa”.

Isu yang timbul di situ, bukanlah persoalan mengenai hak sang profesor untuk bebas berbicara sebagai warga negara, melainkan mengenai hak kebebasan akademik yang telah diberikan kepadanya atas dasar pertimbangan profesional-nya, dan yang hanya untuk itulah kewajiban universitas untuk melindunginya. Terhadap tindak profesor yang telah menyalahgunakan hak serta kewenangannya dalam rangka kebebasan akademik itu, dengan menempatkan dan menganggap dirinya sebagai warga negara biasa, tak patutlah dikait-kaitkan dengan keprofesorannya.

Sikap seperti itu sangat tidak etis dalam pandangan profesional, sekali pun dia menyatakan berulang-kali dengan rendah hati bahwa dia sebenarnya bukan ahlinya di bidang tersebut. Jika merasa bukan ahlinya, secara etis seharusnya dia mampu mengendalikan dirinya untuk tidak mengemukakan pendapatnya.

Pada umumnya kalangan universitas berpendapat bahwa perlindungan atas kebebasan akademik itu hanya dapat diberikan atau diperoleh oleh seorang guru besar, sepanjang ia konsisten dan konsekuen berpegang kepada atau berdiri di atas kedudukan profesionalnya. Kebebasan akademik yang “terbatas” itulah yang sekarang banyak dianut kalangan universitas di Amerika, yaitu kebebasan yang memilah-milahkan siapa, tentang apa, di mana, dan bagaimana, serta untuk siapa suatu pendapat itu dikemukakan.

Tidak sembarang penampilan berhak memperoleh perlindungan serta pengakuan kebebasan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Karl Jaspers :

“Academic freedom just not mean the right to say what one pleases … Practical objectives, educational bias, or political propaganda have no right to invoke academic freedom”.

Apa dasarnya bahwa seorang profesor harus diberi kebebasan dan perlindungan untuk mendiskusikan sesuatu topik (yang diketahuinya sedikit sekali mengenai topik itu) lebih dari warga negara biasa? Kebebasannya menurut undang- undang yang berlaku sebagai warga negara tidak dapat dikait-kaitkan dengan kedudukan profesionalnya di kampus. Universitas tidak mempunyai kewajiban mendukung, mengesahkan atau melindungi pendapat sang profesor, bahkan dalam batas-batas tertentu penampilan profesor yang seperti itu telah menerima atau sepatutnya menerima sanksi etis dari kolega-koleganya atau kelompok profesionalnya.

Pada tahun 1975, suatu definisi baru telah diberikan pada konsep kebebasan akademik itu yang dihubungkan dengan pengajaran dan penelitian. Universitas- universitas telah bekerja secara bertahap untuk memantapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang dikemukakan den Rektor Powell dari Harvard pada tahun 1915, dan yang pada tahun 1960-an telah mengalami banyak penyempurnaan dan telah lebih mantap pelaksanaannya. Konsep itu telah lama berlaku di Inggris, telah menjadi standar bagi beberapa universitas yang terkemuka. Betapapun banyaknya tantangan yang hams dihadapi dari pihak trustees, administrator, dan dari pihak masyarakat luar, dan bagaimana pun masih terdapatnya beberapa perbedaan di kalangan para dosen, namun pada umumnya mereka itu mendukung standar kebebasan baru tersebut, dan bersama-sama mempertahankannya.

Daftar Pustaka

Caine, Sir Sydney.1969. British Universities Purpose and Prospects. Toronto: University of Toronto Press,

Gardner, D.P. 1967.The California Oath Controversy. Berkeley: University of California Press.

Hofstader, R and W P. Metzger. 1955. The Development of Academic Freedom in the United States. New York: Columbia.

Murray G. Ross. 1970. The University – The Anatomy of Academie. New York: Mc Graw-Hill Book Company.