Select Page

Adi Atmoko
adias_65@yahoo.co.id

Program Studi Bimbingan dan Konseling
Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang

Prof. Dr. Mohammad Dimyati

Prof. Dr. Mohammad Dimyati orang yang menjalani hidup dengan kesederhanaan

Kepada anak bangsa

Guru

dalam alam tradisi

“guru, ratu, wong utowo karo”,

dalam alam globalisasi

penjaja informasi

orang tiada hirau

benarkah

bukankah guru,

pembawa kebenaran

penegak keadilan

penegak kejujuran

pengabdi perintah Illahi

penganjur eksistensi

mana pilihanmu

itu kunci masa depan anak negeri ini

malang, 28-10-1996

Sepenggal puisi di atas adalah karya Pak Dim, demikian sapaan yang digunakan oleh para kerabat, kenalan, dan sejawat dalam berinteraksi dengan Prof. Dr. Mohammad Dimyati. Puisi ini menghiasi halaman 36 dari 38 halaman buku Pidato Pengukuhan Guru Besar beliau, pada tanggal 1 Nopember 1996.

Puisi di atas tidak cukup gamblang, namun amat padat makna. Bahkan mungkin bagi sebagian pembaca yang ingin serius memahami subtansi pesan puisi ini, mau tidak mau mesti mambaca buku yang menjelaskan tentang makna tradisi “guru, ratu, wong atuwa karo”, misalnya. Puisi ini dapat dikatakan menggambarkan dengan amat padat siapa sosok Pak Dim sesungguhnya.

Puisi itu adalah miniatur salah satu sisi, kalau tidak mau dikatakan sisi utama Prof. Dr. Mohammad Dimyati sebagai pendidik, sekaligus ilmuan dan filosof pendidikan. Pada puisi tersebut terkandung unsur amat nyata, terdapat pula sisi amat manusiawi, namun tersirat pula wilayah teka-teki, di mana orang mesti berpikir keras untuk mengungkapnya sendiri.

Sebagai guru besar, beliau mendapatkan hak untuk memberi kuliah di pasca sarjana. Dan di sana sisi utama beliau sebagai akademisi bisa dibaca. Dalam hal akademik, khususnya saat memberi kuliah untuk mahasiswa S2 dan S3, beliau tidak pernah memberikan ikan melainkan alat pencari ikan. Bahkan sering kali bukan alat pencari ikan yang diberikan, melainkan sarana pembuat alat pencari ikan. Ia tidak memberikan pancing, melainkan alat pembuat pancing. Terkadang alat itu sendiri harus dimodifikasi, agar bisa digunakan membuat pancing.

Para mahasiswa S2 dan S3 yang pernah mengikuti kuliah Pak Dim tentu merasakan benar gaya mengajar beliau. Beliau tidak pernah berbicara langsung ke substansi. Ibarat mau berbicara tentang kota Malang, beliau akan berputar-putar di kota Blitar, Surabaya, Pasuruan, dan Kediri. Bahkan terkadang amat jauh sampai Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Semarang. Mahasiswa lah yang harus menemukan sendiri obyek formal apa yang sedang dibidik oleh beliau.

Prinsip memberi alat pembuatan pancing pada diri Pak Dim dalam mengajar amat terasa ketika ada mahasiswa yang bertanya. Ketika mahasiswa bertanya, beliau nyaris tak pernah menjawab langsung. Mahasiswa akan dibawa mengembara ke mana-mana, dan dari sana mahasiswa mesti berusaha memungut sendiri bagian demi bagian paling substansial dari berbagai fenomena untuk merumuskan jawaban terhadap pertanyaannya sendiri.

Jawaban paling konkret dari beliau hanyalah berupa tulisan singkat dan gambar di papan tulis. Ciri khas tulisan beliau di papan tulis adalah lingkaran dan anak panah. Para mahasiswa suka berkelakar dengan menyebutnya sebagai gambar onde-onde dan lidi. Selebihnya adalah kata-kata bersayap yang amat normatif, meski kadang-kadang dibumbui contoh kasus dalam kehidupan sehari-hari, yang tak berkaitan langsung dengan pertanyaan mahasiswa.

Gaya memberi kuliah Pak Dim dapat sedikit dipahami, bila kita menengok latar belakang pengalaman akademik beliau di bidang penelitian. Beliau mendalami amat jauh penelitian sosial dengan pendekatan kualitatif. Wilayah Aceh pernah digeluti secara akademik oleh Pak Dim, baik sebagai pendidik, maupun sebagai peneliti sosial. Gaya mengajar beliau sebagaimana diceriterakan di atas adalah gaya mengajar khas kualitatif, dimana mahasiswa dituntut untuk menggali informasi secara akurat dari sumber informasi utama. Di sana, setiap subyek sumber informasi diperlakukan sebagai aktor sosial yang unik. Persepsi mereka lah yang dijadikan bahan baku untuk diolah mejadi kesimpulan ilmiah.

Walaupun amat serius dan lama mendalami penelitian kualitatif, bukan berarti beliau tidak mengkaji penelitian kuantitatif. Bagi beliau, penelitaian kaulitatif dan penelitian kuantitatif adalah dua jenis penelitian yang mesti disinergikan untuk kebaikan perkembangan ilmu. Pandangan beliau tentang sinergi antara penelitain kualitatif dan kuantitatif mungkin dapat diibaratkan sebagai pria dan wanita, di mana penelitain kuantitatif adalah pria, sementara penelitian kualitatif adalah wanita, dan membangun keluarga adalah interaksi sinergisnya. Tak akan ada kehidupan, ketika pria dan wanita tidak bersinergi. Kemajuan ilmu akan berhenti, bila penelitian kuantitatif dan kualitatif tidak serius bersinergi. Keseriusan beliau dalam mensinergikan penelitian kuantitatif dan kualitatif amat nampak pada koleksi buku beliau. Buku keluaran baru bertema mixed methods misalnya, adalah contoh buku yang ditawarkan kepada mahasiswa untuk dibaca.

Dalam hal tulis-menulis, Pak Dim tergolong penulis amat produktif. Menulis, menulis dan menulis karya ilmiah, itulah yang dilakukan Pak Dim dari waktu ke waktu. Ini sejalan dengan prinsip beliau, bahwa seorang doktor haruslah menghasilkan karya ilmiah. Puluhan buku, entah diterbitkan atau tidak, dan tak terhitung jumlah naskah akademik seminar dan sejenisnya, telah dihasilkan oleh beliau.

Tetapi ada yang unik dari cara beliau menulis. Mereka yang dekat dengan Pak Dim pasti tahu, bahwa sampai saat ini beliau masih setia menulis menggunakan mesin ketik keluaran lumayan lama. Cara beliau menulis pun amat efisien. Kesalahan ketik hanya ditandai dengan ketikan huruf x untuk menutupi seluruh kata maupun kalimat yang salah.Ternyata dengan teknologi sederhana, beliau mampu menghasilkan karya tulis ilmiah dengan kuantitas dan kualitas yang amat layak dicontoh.

Pak Dim tergolong orang yang amat konsisten antara kata-kata dan perbuatan. Dalam hal waktu misalnya, beliau hampir selalu datang lebih awal dari jam yang telah ditetapkan. Sebagai aktifis di lingkungan tempat tinggalnya misalnya, bila ada undangan rapat RT maupun RW dan beliau bisa hadir, beliau akan selalu hadir tepat waktu. Padahal sudah menjadi pengetahuan umum, rapat-rapat semacam itu bisa molor berjam-jam.

Dalam suatu kesemptan, pernah ada yang bertanya pada beliau, apakah beliau tidak merasa kehilangan waktu bila datang rapat tepat waktu.Beliau hanya mengatakan bahwa beliau mempunya jam beribadah yang konsisten, dan beliau harus terus berlatih menata waktu. Lagi-lagi, sebuah jawaban yang menyuruh orang untuk berpikir dan menemukan sendiri jawabannya.

Hal yang tak pernah luput dari perhatian Pak Dimsaat memberi kuliah adalah masalah nasionalisme. Hal paling signifikan yang menunjukan kentalnya kesadaran nasionalisme beliau nampak pada tulisan-tulisan beliau, baik berupa buku, maupun makalah. Nyaris tak pernah ada buku dan makalah beliau yang tidak mengupas Pancasila dalam aneka fungsinya di negeri ini. Bahkan beliau menulis buku khusus tentang Pancasila sebagai landasan pengembangan ilmu di negeri ini. Buku dimaksud diberi judul Epistemologi Pancasila.

Secara praktis nasionalisme beliau juga tergambar dalam berbagai pertanyaan tentang nasionalisme warga negeri ini.Beliau misalnya sering bertanya di ruang kuliah tentang berapa banyak orang Indonesia yang sadar untuk menaikan berdera Merah Putih pada setiap hari raya nasional. Apakah menunggu komando dari Pak RT, atau secara sadar berinisiatif sendiri?

Rasanya belum lengkap kalau tidak membahas sisi humanis beliau. Masih dalam konteks nasionalisme, beliau juga membangun interkasi spesifik dengan mahasiswa lintas SARA. Pada masa lalu, saat masih aktif mengajar di jenjang S1, beliau menjadi pembimbing akademik seorang mahasiswa dari suatu daerahdi luar Jawa. Walaupun berbeda etnis dan agama, beliau memperlakukan si mahasiswa nyaris seperti anaknya sendiri. Untuk menjalin komunikasi efektif dan efisien, si mahasiswa disapa dengan kata adik oleh beliau. Dalam hal religi, beliau mengatakan pada si mahasiswa, TUHAN itu amat demokratis. Dalam agama saya, kalau masuk tempat ibadah mesti melepas alas kaki, dan boleh menggunakan kopiah. Sedangkan dalam agamanya adik, kalau masuk tempat Ibadah sebaiknya memakai sepatu, dan tidak memakai topi.

Kesan pertama kalau orang mengunjungi tempat kediaman Pak Dim, adalah kesederhanaan. Seorang guru besar UM, tinggal di perkampungan padat, sementara kalau mau beliau bisa menempati rumah di lingkungan elite kota Malang. Tapi itulah beliau, amat bersahaja. Pernah ada yang bertanya pada beliau tentang tempat tinggal beliau. Pak Dim hanya mengatakan, kalau tinggal di sini, ke mana-mana mudah, karena dekat dengan semua jalur angkutan kota. Lagi-lagi sebuah jawaban amat sederhana, namun menuntut orang untuk berpikir dan berpikir lagi, kalau mau berpikir.