Select Page
Oleh: Abdus Syukur Ghazali

Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

 

Prof. S. Wojowasito adalah linguis masa awal sebelum ilmu bahasa berkembang seperti sekarang. Kemampuan profesor lulusan Universitas Indonesia menguasai beberapa bahasa asing mendorong beliau untuk menimba metode pembelajaran bahasa yang telah berkembang baik di Eropa maupun di Amerika serikat untuk dipersembahkan kepada dunia pendidikan bahasa yang beliau geluti, baik di dalam lingkup regional, nasional maupun internasional. Tulisan yang disajikan ke hadapan pembaca saat ini menggambarkan perkembangan pembelajaran bahasa asing tahun 1970-an, baik yang berkembang di Erpa maupun di Amerika Serikat, yang ternyata masih cukup relevan untuk saat ini.

Pikiran-pikiran ahli barat yang dikemukakan oleh Wojowasito dalam tulisan ini bersumber dari buku karangan beliau berjudul “Pengajaran Bahasa Kedua: Bahasa asing bukan Bahasa Kedua” yang terbit 1977. Tulisan ini telah dibahasakan kembali dan dilengkapi dengan sumber-sumber lain yang relevan.

1. EMPAT METODE PEMBELAJARAN BAHASA

Prof. Wojowasito mengelompokkan kursus-kursus di Eropa secara pedagogis ke dalam empat kelompok metode, yaitu: (1) kelompok pendukung Behaviorisme Skinner, (2) kelompok metode audio visual structuro–global, (3) pendekatan logisch–struktural, dan (4) kelompok metode audio–visual. Kelompok pertama menyandarkan metode pembelajaran bahasanya pada eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh Amerika selama Perang Dunia II. dengan menambahkan motivasi psikologis yang terutama didasarkan atas teori-teori behavioristis dari Watson dan Skinner; kelompok ini kita sebut kelompok audio-lingual. Ahli-ahli teori yang terpenting pada level psikologis adalah Skinner, Crowder, dan lain-lain. Sedangkan kaum teoretisi pengajaran bahasa asing yang banyak terlibat adalah Robert Politzer, Nelson Brooks, Charles Carpenter Fries, dan Robert Lado.

Ketika pecah Perang Dunia II, AS terdorong ke dalam konflik dunia. Untuk meningkatkan perannya sebagai penjaga dunia, AS berpikir tentang perlunya warga Amerika mahir secara oral bahasa sekutu dan musuhnya. Namun, waktu sudah mepet untuk melakukan revolusi pengajaran bahasa mendorong Militer AS memberikan sokongan pendanaan untuk melakukan kursus bahasa khusus dan intensif yang memfokuskan pada keahlian aural/oral kursus ini dikenal dengan Program Pelatihan Khusus Angkatan Bersenjata (ASTP) atau lebih umumnya disebut ‘Metode Angkatan Bersenjata (AB)’. Ciri-ciri dari kursus ini banyak melakukan aktivitas oral –latihan pelafalan dan pola serta praktek percakapan– hampir tidak ada grammar dan penerjemahan yang ditemukan seperti dalam kelas tradisional. Ironisnya banyak landasan dari Metode Langsung pada masa awal yang dipinjam dan dimasukkan ke dalam pendekatan baru yang berkembang di AS ini. Dengan cepat, Metode AB berhasil dan memulihkan minat nasional terhadap bahasa asing dan mendorong lembaga pendidikan menggunakan metodologi baru. Dalam semua variasi dan adaptasinya, Metode AB pada era 1950-an dinamai Metode Audio–lingual.

Metode Audiolingual (Audio Lingual Method/ALM) dilaksanakan dengan landasan teori linguistik dan psikologis. Linguis-linguis struktural era 1940-an dan 1950-an dilibatkan untuk melakukan ‘analisis deskriptif ilmiah’ berbagai bahasa. Analisis deskriptif tersebut melahirkan metode perbandingan bahasa yang dikenal dengan sebutan Analisis Kontrastif (Contrastive Analysis) yang bertujuan untuk menemukan perbedaan unsur linguistik yang ada pada dua bahasa yang diperbandingkan. Para ahli bahasa melakukan perbandingkan bahasa lintas budaya untuk menemukan bahan ajar apa yang dapat diberikan dan metode pembelajaran bahasa apa yang dapat diterapkan kepada para tentara AS agar mereka cepat menguasai bahasa dari negara tempat mereka akan dan diterjunkan. Adapun unsur linguistik yang dikontraskan meliputi tataran bunyi, bentuk, makna, dan struktur kalimat yang diperbandingan untuk menemukan apa saja perbedaan dan persamaan yang ada. Ahli-ahli pembelajaran bahasa kemudian sampai kepada pemikiran, bahwa aspek kebahasaan yang sama akan menyebabkan kemudahan bagi pembelajar bahasa, sedangkan aspek kebahasaan yang berbeda akan menimbulkan kesulitan (Lado, 1957). Dalam bukunya yang amat terkenal yang berjudul “Linguistics Across Cultures”, Lado (1957) memaparkan secara rinci bagaimana direct method (metode langsung) yang digagasnya diterapkan dalam pembelajaran bahasa.

Pada saat yang sama, psikolog behavioristis pendukung teori Stimulus—Respon (S—R) merumuskan teori belajar yang disebut sebagai kondisi belajar atau condition for learning. Juga, dari hasil penelitian terhadap hewan, para pendukung (S—R) sampai kepada perumusan metode pembelajaran bahasa yang dikenal dengan sebutan Pembentukan Kebiasaan (habit formation). Dalam pelaksanaannya, model-model pembentukan kebiasaan tersebut digabungkan dengan latihan mimikri dan praktek pola-pola metodologi audiolingual. Pembelajaran bahasa dilakukan dengan metode tubian (drilling method) dengan menyajikan pola-pola kalimat sederhana (kernel sentences), dan latihannya pun dilakukan dengan latihan pola (pattern drills).

Untuk menyebarkan temuan di bidang Metode Pengajaran Bahasa Asing ke luar Amerika serikat, pakar metodologi pengajaran bahasa melihat pentingnya aplikasi langsung dari hasil analisis kontrastif tersebut untuk memperbaharui metode pembelajaran yang ada sebelumnya, yaitu metode tradisional dan grammar translation method. Bertolak dari kenyataan yang ada, ahli-ahli pembelajaran bahasa seperti Robert Lado (1964) dan Fries (1961) kemudian menulis buku untuk mengimplementasikan dan mendiseminasikan hasil analisis linguistik kontrastif tersebut. Lado (1964) menulis Language Teaching yang merinci pola-pola kalimat dasar yang harus dipraktekkan dalam kegiatan pembelajaran bahasa. Lebih dari itu, dalam buku tersebut, Lado merinci Metode Oral-aural approach yang lebih dikenal dengan Metode Audio Lingual. Adapun Fries menulis beberapa buku penting , di antaranya adalah American English Grammar. New York-London [1940]. Linguistics and Reading. New York, 1962, dan The Structure of English: An Introduction to the Construction of English Sentences. London, 1969.

Ciri-ciri dari ALM yang dicoba diperkenalkan oleh ahli pembelajaran bahasa Amerika Serikat dipaparkan secara singkat dalam daftar berikut:

  1. materi ajar baru disajikan dalam bentuk dialog
  2. terdapat ketergantungan pada mimikri, mengingat seperangkat frase-frase, dan pembelajaran terhadap pola-pola kalimat dilakukan berulang-ulang, sehingga cenderung membosankan;
  3. struktur-struktur dirunutkan dengan cara analisis perbandingan dengan bahasa ibu pembelajar dan diajarkan satu kaidah pada satu waktu
  4. pola-pola struktural diajarkan menggunakan latihan secara berulang-ulang (pattern drills)
  5. sedikit sekali atau tidak ada sama sekali penjelasan gramatikal. Grammar diajarkan dengan analogi induktif, bukan dengan penjelasan deduktif;
  6. kosakata dibatasi secara ketat dan dipelajari dalam konteks.
  7. banyak menggunakanbahan rekaman, lab bahasa, dan alat bantu visual
  8. penekanan pada pelafalan
  9. pembatasan penggunaan bahasa ibu
  10. respon-respon bagus didukung secara langsung
  11. siswa ditekankan untuk menghasilkan ungkapan-ungkapan yang bebas dari kesalahan. Jika salah harus diulanginya sampai benar (Ingat prinsip pembelajaran Stimulus—Respon).
  12. terdapat kecenderungan untuk memanipulasi bahasa dan mengabaikan isi.

(diadaptasi dari Prator & Celce-Murcia, 1979)

Kelompok kedua bertitik tolak dari teori verbotonal oleh Petar Guberina; kelompok ini menyebar-luas melalui sejumlah pusat-pusat di bawah pimpinan Institut Fonetik dari Universitas Zagreb di hampir semua Negara Eropa Barat. Metode Guberina dikenal dengan singkatan SUVAG, yaitu kepanjangan dari System Universal Verbotonal d’Audition Guberina.

Guberina, Penulis sistem Verbotonal (VTS) sebuah teori ilmiah asli dalam bidang komunikasi bicara dan aparat electroacoustic SUVAG, membangun metode pembelajaran bahasa sesuai dengan ide-ide verbotonal (1954-1955). Penelitiannya dalam domain “Dasar-dasar linguistik untuk Ketrampilan Berbicara” memasuki pergantian revolusioner dalam pengajaran bahasa asing (metode struktural audiovisual global (Structural Global Audiovisual Method (SGAV), tetapi metode ini juga dirancang sebagai pendekatan terhadap patologi pendengaran dan berbicara (metode verbotonal–VTM). Karyanya yang fenomenal ini menempatkan Guberina sebagai ilmuwan terkemuka dunia di bidang ilmu humanistik dan biomedis. Metodologi verbotonal telah disebarluaskan ke semua benua, yakni dengan diterapkannya prinsip-prinsip verbotonal, prosedur dan peralatan electroacoustic dalam rehabilitasi dan pendidikan tuna wicara anak-anak dan dalam terapi gangguan bicara.

Kelompok ketiga ialah metode pembelajaran bahasa untuk orang dewasa yang berlandaskan pendekatan logisch–struktural gejala bahasa. Teori yang dipakai dasar ialah teori-teori Z. Harris dan Noam Chomsky, yang menemukan pembela-pembelanya, terutama dalam milieu-milieu kaum logici dan spesialis-spesialis bahasa yang mengedepankan prinsip-prinsip tatabahasa transformasi dan generatif. Tata Bahasa ini menjabarkan lebih jauh, bahwa kompetensi berbahasa (language competence) terbagi atas competence dan performance. Tata bahasa ini juga menegaskan bahwa kemampuan bahasa seseorang berkembang karena yang bersangkutan telah diberi kemampuan bawaan yang disebut dengan Language Acquisition Device (LAD). Dengan kemampuan bawaan tersebut seseorang yang menguasai kaidah-kaidah pokok bahasa yang terbatas akan sanggup menurunkan kalimat-kalimat yang tidak terbatas.

Kelompok keempat mengambil salah satu aspek dari teori-teori linguistik tahun 50 dan menjadikannya bendera untuk berlayar di bawahnya. Dengan demikian kita mengenal sejumlah besar kursus-kursus bahasa yang bersandarkan pada “basic vocabulary” dan selanjutnya tanpa banyak hal yang bersifat linguistis. Seringkali karena keadaan memaksa, kelompok ini masih menggunakan unsur-unsur visual atau auditif sebagai sesuatu tambahan dan menamakan diri metode audio-visual. Wojowasito berpandangan bahwa kelompok terakhir ini, merupakan kumpulan kursus dengan buku-buku pelajaran yang disusun tergesa-gesa.

1.1 Metode Audio-lingual

Teoritikus terpenting dari metode ini ialah Skinner, terutama dengan karangannya: “Verbal Behavior”, Cambridge, Mass, Harvard University Press, 1957). Uraian panjang lebar mengenai percobaan-percobaan dengan binatang yang merupakan dasar dari teorinya dapat kita temukan dalam uraian R. Lamerand “Ge-programmeerde instructive en het talenpracticum”. Pokok-pokok teori itu sebagai berikut:

  1. Belajar bahasa asing itu adalah proses mekanis daripada pembentukan kebiasaan, jadi merupakan pemupukan deretan automatismen (the automatic performance of a series if complex motor skills). North East Conference, 1961, p. 44.
  2. Cara paling baik untuk membentuk kebiasaan ialah: “several months of uninterrupted pattern–drills and mechanical stimulus–response manipulations” (R. Politzer, o.c., p. 17).
  3. Kebiasaan-kebiasaan itu diperkuat oleh “reinforcement” dan oleh karena itu sangat penting: “that the students make the foreign sounds themselves as often as possible, rather than merely hearing them or hearing about them” (W. Rivers: “The Psychologist… p. 53).
  4. Kebiasaan bahasa asing dapat dipupuk secara efisien dengan memberikan jawaban-jawaban yang tepat tanpa kesalahan. Tiap latihan harus diikuti jawaban yang benar sebagai koreksi.
  5. Bahasa asing itu merupakan bagian daripada tingkah laku manusia, dan karena itu menjadi kemutlakan bahwa mahasiswa harus menggunakan bahasa dalam situasi yang sungguh-sungguh, tidak dibuat-buat. Metode audio–lingual menyajikan bahasa dalam bentuk dialog: Dialog yang disajikan harus berkali-kali diulang hingga tak terhitung jumlahnya oleh murid, dihafal sehingga pertanyaan dan jawaban itu menjadi “automatismen” dan sesudah itu jawaban-jawaban tersebut digunakan dalam lain situasi yang diganti atau diubah.
  6. Bahasa lisan harus didahulukan daripada bahasa tulis (kursus murni audio-orale): “The first audio–lingual stage is by far the most important; it lays an indispensable foundation for the other two (reading and writing). In the first stage, only the ear and the tongue are trained, without use of the written language” (North East Conference 1960, p.20).
  7. Mahasiswa belajar pola-pola kalimat dan kenyataan-kenyataan/peristiwa-peristiwa gramatikal dengan analogi menurut model-model yang diberikan: “If drills have been sufficiently representative and have been practiced, analogy will guide the learner along the right linguistic path, as it does in the mother tongue” (N. Brooks, o.c., P.139).
  8. Belajar bahasa bukanlah kesibukan intelektuil oleh karena “intellectual analysis leads to hesitancy at the point of choice, whereas the fluent speaker of a language, through inbuilt intralanguage associations, produces language elements in correct sequence without the need for reflection and is thus able to concentrate on his message” (W. Rivers: Teaching, p.76).

Menurut S. Wojowasito, bahwa sejumlah hal baru yang masuk ke dalam ruang-ruang kelas pembelajaran bahasa datang dari pendapat tersebut. Kenyataannya, sejumlah orang di sekolah-sekolah Eropa Barat menggunakan metode audio–visual atau sesuatu yang menyerupainya, tetapi mereka itu tidak mengetahui, bahwa yang pokok pemraktekan adalah pendekatan behavioristis, namun mereka tidak percaya kepada teori umum behaviorisme. Jadi, dengan lain kata merupakan sesuatu yang mutlak bagi guru untuk mengetahui teori-teori behaviorisme ini dan juga proses belajar yang dipraktekkannya; jika tidak demikian halnya maka ia (guru) akan bekerja membabi-buta dan menambahkan praktek-praktek sendiri kepada kursus yang sama sekali bertentangan dengan pendapat-pendapat (teori-teori) yang menjadi dasarnya.

Dari uraian yang terlampau singkat di atas barangkali ternyata pula, bahwa unsur visual, yaitu bantuan (ondersteuning) dengan “diapositieven” tidak termasuk jaringan (raderwerk) dari metode audio–lingual ini, dan bahwa kita memperoleh bantuan visual kursus-kursus itu dari sumber-sumber lain.

Prof. Wojowasito menyimpulkan bahwa kritik pokok yang terbaik terhadap Metode Audio Visual dilancarkan oleh W. Rivers. Seperti disebut di atas tentang pattern-drill, Rivers menulis sebagai berikut: “These are suitable techniques for making foreign language responses automatic at the manipulative level …… carefully conducted, they enable the student to know almost immediately wether his response is correct and appropriate ….. composed in real-life situations with expressions and structures repeated in variety of contexts, they provide valuable exercise in the active use of the language for the give-and-take of communication. (W. Rivers: “The Psychologist …… p. 149). In unskilled and unpracticed hands, however, these techniques may become tedious” (id. P. 150).

Kritik itu menasihatkan agar kepada para murid diberikan penjelasan tentang mekanisme proses belajar tersebut, hingga mereka itu mengerti apa yang harus diperbuat dan dengan demikian bekerja dengan keinsyafan. Diperingatkannya jangan terlalu banyak mengulang praktikum: “to the point of boredom become punishing and distasteful to the student” (id. p. 150), dan menentang prinsip “overlearning”. Yang dianjurkannya ialah: “understanding of what one is doing” dan analisis sebagai ganti daripada bekerja secara automatis atas dasar analogi.

Sebagai kesimpulan: metode audio–lingual berkaitan dengan aliran psikologis Amerika dari behaviorisme, dengan program tentara Amerika yang intensif dan menggunakan alat praktikum bahasa untuk dapat menjalankan secara individual drill dan praktek, tidak menggunakan/mengutamakan materi/bahan visual sebagai bagian elementer daripada kursus. Metode ini merupakan pendekatan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk persoalan pengajaran bahasa asing yang memiliki dasar, dan dari permulaannya orang percaya kepada behaviorisme sebagai penjelasan proses belajar.

1.2            Metode Audio-visual struktur-global

Formula teoritis prinsip-prinsip fonetis, yang menjadi dasar metode ini, terjadi pada tahun 1953. Adapun pelaksanaan kursus yang pertama terjadi sekitar 1960. Untuk teori dan sejarahnya dapat kita pelajari karangan Renard dan karangan dari pemberi dasarnya, yaitu P. Guberina dalam “Revue de phonétique appliquée” (P. Guberina: “La méthode audio-visuelle struturo-globale”, dalam Revue de phonétique appliqué, Mons. Centre Universitaire de’l’Etat, 1 , 1965, p. 35-64; R. Renard: “Une revolution dans I’enseignement des langues vivantes, La mérhode audio-visuelle structure- globale de Saint-Cloude”, Zangreb, Mons, Fonds Raoul Waroqué, 1963). Untuk rencana studi kita dari metode ini yang terpenting adalah petunjuk-petunjuk didaktisnya dan pertanggunggjawabannya.

Tiap kursus didasarkan atas dialog “qui decrit les situations reelles, comme par example: presentation, voyages, vie quotidienne” (yang melukiskan situasi-situasi riil, seperti misalnya: presentation (= penyajian), perjalanan, kehidupan sehari-hari” (P. Guberina o.c., p.35). Dialog-dialog itu sebanyak mungkin memuat unsur-unsur pengajaran contextual, oleh karena dengan jalan demikian “le signal acoustique” akan lebih tepat ditonjolkan dan lebih mudah diasimilasi.

Situasi dimana bahasa terdapat sebagai unsur, harus mendekati situasi yang sesungguhnya sedapat mungkin, dan oleh karena tidak mudah untuk menciptakan situasi yang riil di dalam kelas, maka metode ini menggunakan gambar sebagai unsur sinkron, daripada bunyi: “Le sujet est présenté d’ une maniére visuelle (image) et il est intimement lié avec la signe acoustique correspondant (le signal sonore est donné par magnétophone). Le signal sonore est expliqué par l’image” (Pokok atau persoalan itu disajikan dengan cara visual/gambaran dan hal itu amat mesra dikaitkan kepada tanda akustis yang berimbangan dengan image (gambar) tersebut. Tanda akustis/sonor itu dijelaskan dengan gambar. P. Guberina o.c. p. 61).

Oleh karena telinga dan mata itu menanggapi sesuatu dengan cara struktural, artinya dengan kesatuan-kesatuan atau totalitas-totalitas yang bulat, maka penyajian dari bahan bahasa (yang diajarkan) harus berlangsung melalui bentuk keseluruhan daripada kejadian, situasi dan kalimat, dan oleh karena itu disebut metode global dengan titik berat pada struktur: struktural–global, walaupun menurut beberapa pengarang tepat sama artinya dengan: “Le magnétophone et l’image traduisent la vie et le dialogue social de telle maniére qu’une personne qui apprend une langue étrangére se trouve dans ine situation de la vie quotidienne: L’image représente une situation et le plan du langage” (Magnetophoe dan gambar menterjemahkan/menyatakan kehidupan dan dialog sosial demikian rupa hingga seseorang yang belajar bahasa asing itu merasa dirinya di dalam suatu daripada kehidupan sehari-hari. Gambar/image menyajikan suatu situasi dan magnetophone menyajikan kepada kita permuataan yang memadai dalam bidang kebahasaan) id. p. 64.

Oleh karena metode dalam pendekatannya yang bersifat teoritis merupakan pekerjaan seorang fonetikus, maka hendaknya janganlah mengherankan kita semua, bahwa seluruh pendekatan itu bersifat fonetis. Analisis fonetis pelbagai bahasa yang menjadi dasar metode ini menurut beberapa ahli memang menjadi pangkal -tolak untuk menyusun pelajaran- pelajaran. Di samping itu Guberina telah membantu teorinya secara mekanis dengan membuat apa yang dinamakan Suvag-Lingua (= Systéme universel Verbo-tonal d’Audition-Guberina), suatu alat guna mengoreksi ucapan, terutama digunakan pada pengajaran orang-orang tuli-bisu.

Beberapa aspek dari teori itu dibantah/diragukan oleh lain-lain fonetikus; misalnya Y. Lebrun telah berkali-kali menunjukkan, bahwa teori yang dijadikan dasar untuk koreksi itu tidak bertahan pada analisis akustis (Y. Lebrun Mededeling op de bijeenkomst van de IVAM te Brussel op 8 Oktober 1969). Juga, tentang pemakaian gambar sebagai bagian penting dalam pengajaran masih ada sesuatu yang dapat direnungkan kembali. Keadaannya memang begitu rupa, sehingga tidak seorangpun dapat mengingkari peranan gambar sebagai materi ilustrasi di dalam kelas, tetapi diperlukan sebetulnya lebih daripada itu: gambar dan bunyi bersama-sama membentuk kesatuan bahasa struktural dan sistim itu sama sekali tidak dapat dipikirkan tanpa rentetan diapositif, yang membantu/menopang sketsa dan “mecanismes”. Misalnya B. Underwood selama beberapa eksperimen telah menunjukkan, bahwa amat sedikit hal-hal positip yang terdapat dalam bantuan visual terhadap kursus bahasa. J.B. Carroll mempunyai pendapat sama dan beranggapan bahwa gambar (= image) itu memalsu situasi berbicara. (B. Underwood: “Experimental Psychology”., New York, 1949, p. 419; J.B. Carroll o.c., p. 45).

Suatu segi yang baik dan penting dari metode ini ialah perhatian yang dicurahkannya kepada pembentukan guru-guru. Memang Guberina berpendapat bahwa pengajaran bahasa asing kepada guru menghendaki pengetahuan mendalam mengenai metode yang dipakai, dan pengetahuan mendalam pula dari bahan yang diajarkan, c.q. bahasa asing. Pengarang menuntut daripada para pemakai (metode) itu, bahwa mereka ini harus lebih dahulu menjalani semacam upgrading (penataran) untuk dapat menjalankan tugasnya dengan pengetahuan dan pengertian yang sungguh-sungguh. Pendapat ini amat kita puji dan hal itu dapat dicontoh oleh kebanyakan negara tentang apa yang harus dikerjakan mengenai pembentukan guru. Metode ini tidak menuntut praktikum bahasa, dan di kebanyakan tempat dikerjakan tanpa alat-alat teknis. Hal ini mudah difahami, kalau kita mengetahui, bahwa disini yang dipusatkan/diutamakan ialah kesatuan-kesatuan bahasa dan bukan imitasi mekanis menurut contoh. Walaupun demikian digunakan pula makin lama makin banyak praktikum bahasa untuk mempertinggi giliran latihan, tanpa bahwa hal itu merupakan beban tambahan guru.

Metode ini berdasarkan atas pemakaian serentak daripada pita perekam dan diaproyektor, sesuatu yang dalam praktek banyak menyebabkan guru memboros-boroskan waktunya serta berbuat kecerobohan-kecerobohan, dengan akibat misalnya tak dapat mengawasi lagi kelas oleh karena perhatiannya terlalu dipusatkan kepada pekerjaan mengontrol rangkap yaitu pita perekam dan diaproyektor. Untuk persoalan ini telah diadakan pemecahan dengan menggunakan: pita perekam dan diaproyektor yang disinkronisasikan, yaitu gambar dan bunyi secara teknis dijadikan senyawa dan dapat digunakan dengan hanya menekan sebuah tombol. Aparat ini merupakan kemutlakan bagi mereka yang tidak mau mendapat banyak susah dalam menggunakan kursus atas dasar sistim audio–visuil strukturo–global.

Kritik tajam belakangan ini juga dilancarkan atas pendirian/dalil bahwa tiap fase pengajaran harus dimulai dengan percakapan antara dua orang (dialog). Dalam IRAL terbaca kritik tajam oleh Eugen Spaleny sebagai berikut: Di dalam metode-metode pengajaran bahasa sekarang ini, yang dianggap sebagai modern, pada stadium elementer, bahasa tersebut mudah dianggap sebagai “alat untuk menyatakan diri dan berhubungan”, dimana komunikasi (hubungan) itu dibatasi pada bagian percakapan yang berupa dialog mengenai suatu keadaan sosial tertentu. Pendapat ini mempunyai segi-segi amat tidak menguntungkan bagi penyusunan isi proses belajar yang harus diarahkan secara teliti, dan terutama yang mengenai/bertalian dengan tujuan dari pengajaran dalam fase elementer. Yang belajar (siswa) harus dapat membuat gambaran mengenai berfungsinya bahasa sebagai sistim struktur-struktur dari rencana (teratur) model-model kalimat itu …… Dialog-dialog yang wajar (= tidak dibuat-buat), pernyataan-pernyataan bahasa yang bagaimanapun, dengan bentuk-bentuk bahasa sebagai reaksi dan stimulasi kepada aksi (kegiatan, perbuatan), yaitu bentuk-bentuk bahasa yang tak teranalisis/tak teruraikan, biasanya agak rumit mengenai strukturnya dan akustiknya; lagipula hal itu mengenai gejala-gejala bahasa peripheries dalam kalimat-kalimat idiomatic dan tersusun lengkap. Gejala-gejala bahasa semacam itu tidak menghemat proses belajar, karena nilainya ada di dalam kekcualian dan tidak di dalam yang bersifat umum).

Mengingat bahwa ini mengenai perkenalan pertama, maka tinjauan itu diikuti oleh uraian yang padat mengenai skema pelajaran sebagai yang direncakan oleh P. Guberina dan P. Rivenc dalam pendahuluannya untuk “Voix et images de France”.

SKEMA PELAJARAN

  1. Penyajian di dalam kelas; guru memiliki sketsa meliputi sejumlah tiga puluh diapositif dan pita perekam dengan dialog-dialog yang sesuai. Gambar selalu mendahului sebentar bunyi. Tiap diapositif dipertunjukkan dan kalimatnya di dengar; kemudian diterangkan dan diulang.
  2. Sesudah itu para murid harus diberi waktu latihan dengan praktikum untuk memberikan kesempatan kepada mereka supaya berlatih lebih lanjut dengan dialog tersebut, yaitu memperbaiki ucapannya dan menghafalkan naskah-naskah itu.
  3. Mekanismen dalam kelas dengan tatabahasa audio-visuil: sketsa baru atau suatu deretan gambar membantu mengadakan analisis tatabahasa, bersama-sama dengan struktur fonetis daripada pola kalimat. Sekarang proses belajar dipindahkan kepada “I’expleoitation” daripada sandiwara (diapositif = gambar), mengulang para siswa, menjawab pertanyaan-pertanyaan guru, mengajukan sendiri-sendiri pertanyaan-pertaanyaan atau mendapat jawaban pula dari teman-teman mahasiswa.
  4. Suatu masa praktikum dapat diselenggarakan atau diberikan untuk melatih hal itu lebih lanjut. Pendahuluan dari “Voix et images de France” memerlukan 3 jam untuk mengerjakan suatu keseluruhan pelajaran, diikuti oleh sejumlah giliran latihan dalam praktikum.
  5. Semua ini hanya merupakan sketsa dasar dari prinsip umum dan siapa yang menghendaki didaktik yang direncanakan dengan teliti menit demi menit, dapat membaca “Voix et images de France in American Schools and Colleges” Philadelphia, New York, Chilton Books, 1969, dimana dalam 569 halaman disertakan cara kerja guru.

1.3               Metode Logis-struktural

Metode ini bertitik tolak dari pola kalimat yaitu rumusan dalil, sebagai kesatuan bahasa, dan menyusun dengan kesatuan ini suatu pelajaran, dengan sendirinya berdasarkan jumlah minimal kata-kata sebagai unsur pemenuhan (untuk kalimat), hingga keseluruhan pengajaran bagi orang dewasa ini merupakan sesuatu yang harus dikerjakan secara rasionil, segaris dengan gagasan-gagasan Chomsky mengenai transformasi dan generasi kalimat-kalimat. Jadi metode ini berpangkal dari hipotesa, bahwa mungkin untuk mencapai hasil yang praktis secara maksimal dengan beberapa kenyataan bahasa yang mudah dimengerti, disusun teratur dan logis. Penyusunan kursus ini menyamai sistem deduktif, dengan lain kata dari suatu kesatuan bahasa yang diuraikan/dianalisis secara baik, dapat diciptakan/dilahirkan (generate) sejumlah besar kalimat-kalimat baru yaitu substitusi dan transformasi.

Metode ini mengenai hal-hal yang penting (pokok) bergabung dengan yang diuraikan sebelumnya (= metode audio–lingual), yaitu menganggap bahasa pertama-tama sebagai gejala auditif, yang harus diolah secara demikian pula yaitu tanpa buku atau tanpa tulisan, setidak-tidaknya beberapa minggu lamanya sehingga telah tercapai dasar kuat yang memadai untuk ucapan, tanpa mengutamakannya sebagai aksioma seperti dalam metode dstruktural–global, dimana berbulan-bulan lamanya tidak diadakan latihan membaca atau menulis. Metode ini pula mendasarkan atas kenyataan bahwa proses belajar itu mulai dengan semacam inkubasi, dengan lain kata bahwa murid harus sudah banyak mendengar bahasa itu, sebelum ia terpaksa berbicara sendiri. Penulis metode logis–struktural sependirian dengan Chomsky, berpendapat bahwa manusia sejak lahir mempunyai semacam bakat untuk mengorganisasi gejala-gejala yang menyangkut bunyi bahasa, dan bahwa belajar bahasa itu lebih daripada hanya proses mekanis pengulangan daripada bentuk yang selalu sama, perbedaannya dengan metode dstruktural-global dari Saint–Cloud–Zagreb ialah, bahwa metode logis–struktural ini lebih minimal dalam bahan pelajaran, sehingga murid lebih cepat menguasai bahasa serta menyusunnya dan karena kenyataan bahwa metode itu tidak dipercaya untuk mendahulukan/mengutamakan fonetik, dan metode itu, berpendirian, bahwa bahasa itu lebih merupakan pengaturan/penyusunan daripada hanya “penciptaan suatu rantai suara”. Dari prinsip behavioristis yang dianggap baik ialah kenyataan bahwa ada diadakan beberapa kali ulangan – yaitu diantaranya selama periode inkubasi– tetapi metode ini tidak hanya suatu bentuk belajar menggunakan mekanisme; segera terdapat suatu organisasi jiwa/semangat, maka organisasi itu akan amat mendorong ke arah penciptaan fakta-fakta bahasa, dengan jalan membangkitkan inspirasi dan menciptakan situasi bahasa, karena metode itu percaya bahwa bahasa itu terutama adalah menciptakan situasi. Justru oleh karena itu gambaran/image tidak pernah memgang peranan utama, walaupun gambaran/image itu dengan berhasil dapat digunakan pada ketika-ketika tertentu untuk menggantikan inspirasi.

Para pengarang metode ini amat percaya kepada pengaruh timbal balik terus-menerus antara deduksi dan induksi daripada proses belajar. Jika kursus itu sebagai gejala bahasa disusun secara deduktip, maka sebetulnya keadaannya demikiran rupa bahwa tiap peristiwa bahasa dianalisis secara induktip, sehingga para siswa sendirilah dapat membuat aturan bahasa itu yang telah diketahui cara mempraktekkannya, yaitu menemukan (aturan-aturan) yang amat membantu proses menjadi masak. Pengaruh timbal-balik antara deduksi dan induksi itu dianggapnya sebagai bagian yang tidak dapat digantikan oleh apapun dalam proses belajar orang dewasa.

Mengenai ucapan (bahasa) mereka percaya pada tujuan komunikatif daripada bahasa asing, artinya bahwa pertama-tama yang penting ialah mengerti dan dapat dimengerti. Hal itu sendiri merupakan hal yang amat penting, jauh lebih penting daripada memiliki ucapan yang murni–korek, tetapi tidak mampu mengadakan hubungan. Kenyataan berbuat salah terhadap ucapan dianggap sebagai sesuatu yang amat biasa dan boleh diterima.

Apa yang rupa-rupanya mengherankan kebanyakan orang ialah bahwa amat ditekankan pada menghafal, hal itu merupakan sesuatu yang di dalam apa yang dinamakan pedagogi modern, dan terutama pada sejumlah orang, yang takut akan susah payah, dipandang sebagai sesuatu yang pantas disesalkan. Soalnya ialah bahwa para pengarang itu meminta untuk membuat sintesa dari tiap pelajaran (jadi bukan soal naskah percakapan antara dua orang) dan menghafal sintesa itu. Hal itu dipandang sebagai suatu langkah kea rah pembuatan uraian pendek dan eksploitasi bentuk ceritera pendek, yang oleh metode yang terdahulu dibelakang untuk kepentingan bentuk–aku (dalam dialog).

Pemakaian praktikum bahasa atau penggunaan pita perekam amat dianjurkan, dan ini diperlukan untuk memperoleh sejumlah jam–inkubasi yang mutlak.

Para pengarang berpendapat bahwa tiap jam kontak dengan bahasa tersebut walaupun hanya didengar, merupakan suatu langkah kea rah ambang pintu, penimbunan kuantitatif dari materi bahasa, yang kemudian memungkinkan ekspresi pikiran. Di sini yang diutamakan ialah pendapat dialektis dari proses belajar, penimbunan kuantitatif dari energi untuk sampai kepada semacam pembebasan tenaga kualitatif yaitu pemakaian bahasa yang berdaulat.

Oleh karena disini yang menjadi soal ialah metode khusus yang belum pernah dijelaskan dengan teliti, maka dalam halaman-halaman berikut ini akan ditemukan sejumlah kemungkinan pemraktekan yang mutlak untuk pengertian yang lebih baik dan pengevaluasian yang lebih tepat. Juga dalam bab kelima –pada pembicaraan kursus pokok– masih terdapat beberapa keterangan yang kami anggap mendesak bagi pengertian yang lebih baik mengenai keseluruhannya.

SKEMA PELAJARAN DAN PERTANGGUNGJAWABANNYA

  1. Selama presentasi bahan pelajaran dalam kelas hanya boleh didengarkan: model-model itu berpuluh-puluh kali diajukan, tiap kali dengan lain kata (satu pola kalimat) dan dititik-beratkan kepada menerima/mendengar persediaan bahasa sehingga tekanan-tekanan dari contoh yang diberikan itu begitu kuat hingga akhirnya para murid itu tak dapat menahan diri lagi untuk ikut berbicara, ikut berbisik-bisik. Jika demikian halnya, maka mengucapkan serentak atau nyaring-nyaring menjadi sudah mungkin, tanpa selalu ditekankan kepada ulangan individual.
  2. Selama jam belajar sendiri dalam praktikum dengan menggunakan plat gramapun atau pita perekam murid itu mendengarkan bahasa itu sekali lagi, seperti halnya belajar nyanyian dari plat atau kaset, suatu proses yang dikenal oleh tiap pemuda sekarang. Murid-murid itu dianjurkan untuk mengucapkan lagi (mencontoh) teks-teks itu, yaitu mengucapkan pola-pola kalimat dan substitusi kata-kata, jadi memungkinkan satu model itu dapat digunakan dengan arti yang berbeda-beda.
  3. Apabila pola-pola kalimat itu sudah dikenal dan dilatihkan, maka tibalah waktunya untuk menggunakan induksi di bawah pimpinan guru di dalam kelas; murid mencoba menemukan susunan pola-pola kalimat atas dasar contoh-contoh yang mudah dipelajari, ia mencoba menemukan sendiri akibat-akibatnya bagi ucapan dan tata bahasa – dalam hal tersebut tentu saja dibantu oleh guru. Fase ini amat penting, oleh karena murid yang dewasa itu harus tahu apa yang diperbuat dan mengapa ia berbuat demikian itu. Segera pengetahuan teoritis itu diperoleh, murid mulai berlatih diri dengan penuh pengertian/kesadaran dalam praktikum atau dengan plat gramapun, ia sendiri membuat kalimat-kalimat dan membangkitkan situasi-situasi dengan apa yang telah dipelajari.
  4. Di dalam kelas tugas dialihkan kepada eksploitasi sepenuhnya dari pengetahuan murid di dalam kelas. Dimulai dengan permainan tanya- jawab oleh guru, situasi cepat berubah hingga guru hanya tinggal menjadi moderator saja di dalam diskusi-diskusi itu, di dalam percakapan panil, konversasi pergaulan, dimana murid-murid itu memegang peranan pokok. Bentuk-bentuk percakapan itu selalu diselingi dengan latihan teks-teks sintesa, yang berisi persoalan dalam bentuk uraian dan yang memaksa para murid untuk latihan individual yang lebih panjang daripada jawaban biasa dalam percakapan.

Unsur-unsur visual dalam fase ini digunakan untuk mengarahkan murid-murid:

  1. Agar supaya menaruh pemikiran kepada sesuatu pokok.
  2. Agar supaya belajar menyatakan pikiran-pikirannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan dari bahasa asing tersebut.

Skema pelajaran dengan begitu mengharuskan para guru memperhatikan tiga momen-momen penting, yaitu:

  1. Penyajian harus dilakukan oleh guru sendiri dengan mempertaruhkan seluruh kemampuan pedagogisnya.
  2. Detik pelajaran induktif menuntuk pengertian yang tak meragukan beserta seninya untuk memimpin para murid demikian rupa hingga dapat menemukan sendiri aturan-aturan bahasa itu
  3. Eksploitasi dalam bentuk konversasi serta sintesa menuntut pengetahuan yang dalam mengenai perbedaan dalam kebiasaan berbicara (bahasa ibu dan bahasa asing), dan menuntut juga pengetahuan tentang alat- alat/ sarana-sarana yang memungkinkan dapat dan membantu para murid-murid waktu beralih ke kebiasaan-kebiasaan bahasa asing.

Skema pelajaran seluruhnya memerlukan kira-kira 6 jam, yaitu tiga di dalam kelas, dan tiga di dalam praktikum atau di rumah dengan pita perekam atau pelat gramapun. Sekalipun demikian kita harus menekankan kepada murid untuk, jika mungkin, memperpanjang waktu latihannya dengan mendengarkan siaran radio, melihat acara telivisi, walaupun belum memahami semuanya. Sesudah beberapa minggu, dan ini sebaiknya sesudah belajar kira-kira sejumlah 50 pola kalimat, baharulah para murid menerima buku pelajaran untuk dipakai seterusnya. Maka guru mulai membaca dan membicarakan seluruh pelajaran pertama dan sesudah itu guru memberikan dikte sebagai pemraktekan bagian pertama.

Berikut adalah varian-varian dalam skema pelajaran.

VARIAN-VARIAN

  1. Kursus diorganisir untuk direktur-direktur bank dan insinyur-insinyur dengan satu kali berkumpul dengan guru selama tiga jam tiap minggu. Selama berkumpul itu guru melatih secara mendalam pelajaran sebelumnya (konversasi dan sintesa) dan kemudian menyampaikan pelajaran baru (presentasi), dan segera sesudah itu berpindah ke momen induktif. Penemuan hal-hal yang teratur di dalam peristiwa-peristiwa bahasa.
  2. Lain varian ialah belajar sendiri, yang dalam beberapa peristiwa yang terkenal membawakan hasil yang baik sekali. Para murid mengikuti irama kerja sebagai berikut:
    1. Mereka mendengarkan berpuluh-puluh kali teks dalam beberapa menit itu di plat gramapun atau pita kaset, kemudian ikut mengucapkan dan mengulang teks sampai hafal;
    2. Mereka mencontoh mengucapkan model-model itu selama ada istirahat.
  • Mereka mengucapkan model-model itu dengan pelbagai kata secara hafal.

Pada ketika inilah mereka untuk pertama kali menggunakan bukunya untuk meneliti/memilih arti, untuk mempelajari cara menulis. Sesudah itu mulailah fase kedua:

  1. Mereka belajar menghafal sintesa dari buku dan mengucapkannya nyaring-nyaring dan berulang kali.
  2. Akhirnya mereka itu menuliskan teks itu dari hafalan dan memperbandingkan hasilnya dengan teks dalam buku; mereka mempelajari aturan-aturan ejaan dan membuat latihan-latihan tambahan.

Persoalan yang sulit ialah menemukan teman berbicara untuk mempraktekkan pengetahuan elementer. Kesulitan itu di atasi oleh cara penyusunan kursus, misalnya dengan menyajikan kata-kata tata-tertib/hormat, Tanya-jawab yang bisa dipraktekkan oleh murid. Berhasilnya murid dalam praktek memberikan cambuk kepadanya untuk melanjutkan jalan yang sudah ditempuhnya.

KONKLUSI

Oleh karena bahasa itu hanya merupakan sebagian daripada keseluruhan tingkah laku (tabiat) manusia, maka dalam kebanyakan kursus- kursus percobaan (eksperimentil) diusahakan kemungkinan untuk “bergerak” selama jam pelajaran, yaitu berkonversasi sambil berjalan-jalan, duduk bersama pada meja bundar seperti dalam café, berdiri dan duduk kembali sambil berbicara. Ini adalah suatu unsur yang tidak dapat diukur, tetapi yang kita yakini akan membantu sekali untuk memiliki tabiat bahasa asing. Metode semacam ini sangan mungkin

Metode Audio-Visual

Dari studi yang diuraikan di atas, terbukti jelas bahwa sebetulnya tidak ada metode audio-visual, tetapi yang kebanyakan ada ialah hanya pemakaian alat-alat auditif (pita perekam, plat gramapun, praktikum bahasa), atau pemakaian alat-alat visual (gambar dinding, diapositif, pilem). Maka tidaklah tepat untuk selalu berbicara tentang metode audio-visuil, kecuali barangkali untuk metode Guberina tetapi hal itu tidak adil/tidak benar, oleh karena P. Guberina lebih menitikberatkan kepada dstruktural- global daripada kepada visuil.

  1. PEDOMAN DIDAKTIS UNTUK KURSUS PENGETAHUAN DASAR KETRAMPILAN BERBAHASA

Kebanyakan kursus-kursus, ditinjau secara historis, tidak mengadakan perbedaan antara didaktik kursus permulaan dan didaktik kursus lanjutannya. Yang dikerjakan ialah memindahkan tekanan kepada pembukaan pintu kepada naskah-naskah, roman sandiwara, surat kabar. Meskipun demikian, praktis tidak ada orang yang mengadakan perbedaan jelas mengenai pedoman-pedoman yang harus menjadi pegangan. Dengan demikian metode audio–lingual berjalan terus menurut skema pelajaran yang sudah umum hingga bagian-bagian buku yang terakhir. Begitu pula metode audio–visual struktur–global berjalan terus dengan skema pelajaran yang sudah lazim.

Wojowasito berpendapat, bahwa ada perbedaan fundamental antara cara mengajarkan pengetahuan elementer dan cara mendapatkan pengetahuan baku/dasar. Nama kursus itu sendiri (= kursus pengetahuan dasar) menunjukkan bahwa yang terpenting ialah membangun dasar yang kuat, yang dapat dilakukan dengan mudah dan agak bebas oleh tiap orang. Jadi pada hakekatnya merupakan pemanfaatan sejumlah pelbagai macam teknik untuk membimbing para murid demikian rupa sehingga para murid itu kemudian dapat hidup dengan bahasa tersebut secara berdaulat.

Hal tersebut di atas adalah tujuan utama dari kursus dasar: belajar hidup dengan bahasa tersebut, artinya di dalam segala situasi dan keadaan mampu mengolah dan memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam lapangan itu tanpa ragu-ragu atau keengganan, yang dengan sendirinya berarti bahwa ia menguasai sejumlah teknik untuk dapat mengolah dan menyelesaikan tugas-tugas yang dihadapinya tanpa ragu-ragu.

Bagi kebanyakan siswa soalnya memang demikian rupa bahwa mereka itu tidak tinggal dalam lingkungan bahasa yang dipelajari, tetapi bahwa mereka itu tetap tinggal di dalam lingkungan bahasanya sendiri selama mempelajari bahasa asing tersebut yang berarti berkurangnya kemungkinan untuk berlatih, terutama mengenai bahasa hidup. Disini ada terpendam bahaya besar, karena barang siapa yang tidak diberi kesempatan secara teratur untuk mempraktekkan pengetahuan bahasanya yang telah dicapai maka ia akan cepat sekali kehilangan sebagian dari kemungkinan-kemungkinannya. Tiap orang telah mengalami sendiri bahwa sesudah berbulan-bulan tidak menggunakan sesuatu bahasa, akan mengalami kesulitan-kesulitan dalam memahami lain orang, terutama dengan berbicara lancer suatu bahasa asing. Jadi para guru tidak harus memberikan suatu jumlah pengetahuan saja kepada para murid itu sedapat mungkin selalu/tetap menguasai kemampuannya.

Tidak hanya itu saja. Oleh karena pertama itu hanya bertujuan memberikan “skill” saja, dalam menggunakan bahasa asing, maka kursus pengetahuan dasar harus berbuat lebih dalam lapangan isi: ia harus membawa masuk murid itu ke dalam kebudayaan yang dibawakan atau dinyatakan oleh bahasa asing tersebut, dengan lain kata murid itu harus merasa seolah-olah dalam rumah sendiri di dalam kebudayaan asing tersebut. Memang kadang-kadang perbedaan itu tidak begitu besar, kalau hal itu mengenai lingkungan-lingkungan bahasa yang secara geografis berdampingan, tetapi walaupun demikian kita tidak boleh mengganggap remeh rintangan bahasa tersebut.

Metode kita untuk level ini akan amat aktif, dalam arti bahwa metode itu menitikberatkan kepada auto aktivitas sang murid. Pengikut kursus harus selalu menggunakan kamusnya, oleh karena menjadi kemutlakan bahwa ia menggunakan alat bekerja tersebut. Ia harus memiliki buku reference tentang gramatika, dimana ia dapat mencari penjelasan tentang bentukan-bentukan yang tidak dikenalnya.

2.1 Fase-fase pekerjaan

  1. Pengolahan auditif dilanjutkan; hal ini berarti bahwa murid haru memelihara kebiasaan mengapproach bahasa yang dipelajari itu secara demikian dan hal itu selalu tanpa menggunakan buku pelajaran. Teks yang baru, baik dialog, reportase, maupun uraian, harus didengar, tetapi sekarang tanpa penjelasan lebih dahulu dari guru, dengan lain kata, kita anggap bahwa pelajran itu dimulai dalam praktikum bahasa atau di dalam kelas, tetapi dengan mendengar pita perekam atau plat gramapun. Para murid mendengar teks seluruhnya dan mencoba mengerti.

Tentu terdapat bagian-bagian yang tidak difahami dan oleh karena itu sesudah tiga kali mendengar, teks tersebut diberikan dengan “at dictation speed”.

Prosede ini memungkinkan murid:

  1. Mendengar teks tersebut bagian demi bagian, dipisah-pisahkan oleh jeda.
  2. Menghentikan alat tersebut sesudah bagian yang tidak difahami; kemudian mencari di dalam kamus mengenai apa yang tidak difahami itu untuk dapat menangkap seluruh isi kalimat. Terutama kita harus menitikberatkan pada bagian yang edukatif ini, oleh karena jika kita selama kira-kira lima belas minggu berbuat begitu, maka murid akan memperoleh kebiasaan kerja yang sesudah meninggalkan kursus, akan diteruskan, suatu hal yang memungkinkan dia bekerja terus secara berdaulat (tanpa bantuan) guna menambah pengetahuannya.

Mendengar dengan kecepatan dikte adalah latihan yang amat baik untuk belajar mengerti dan untuk belajar mengenal irama, intonasi dan prosodi, dengan syarat selalu, bahwa murid memiliki cukup pengekangan diri untuk dapat menjalankan dengan baik. Pengalaman yang baik sekali diutarakan oleh Van Passel selama perang dunia yang terakhir. B.B.C. tiap hari menyiarkan berita beberapa kali untuk daerah-daerah yang diduduki Jerman yang selalu diulang dengan kecepatan mendikte. Ulangan itu biasanya dilakukan dua kali, yang diikuti lagi lektur global. Berhari-hari, berbulan-bulan Van Passel dengan kawan-kawan mencatat dengan cara demikian teks-teks, dan oleh karena pengetahuan mereka dalam bahasa Inggeris masih tipis pada waktu itu, mereka itu selalu terpaksa berkali-kali menggunakan kamus untuk mengisi kekosongan-kekosongan dalam pengetahuan mereka, tetapi hal itu tidak berlangsung terlalu lama oleh karena sesudah beberapa minggu merea sudah menganalisis/mengetahui perbendaharaan katanya, bentuk-bentuk, urut-urutan, jalan-jalan kalimat mengenai berita-berita tersebut, dan mereka telah menjadi biasa dengan cara-cara membaca B.B.C. sehingga mereka tidak lagi mengalami kesukaran apapun untuk mengikuti siaran-siaran biasa. Pada ketika itu mereka itu jelas mendapatkan pelajaran bahasa Inggeris tidak lebih dari 50 jam dan hal itu dengan “The Boy’s Own Book”.

Juga walaupun seluruh teks itu difahami, maka pasti masih merupakan kemutlakan untuk mendengarnya lagi beberapa kali dengan kecepatan yang normal dan itu dengan tujuan dua macam:

  1. Mengintegrasikan kata-kata baru ke dalam perbendaharaan yang telah dikenal lebih dahulu, dan dengan demikian memasukkannya (= kata-kata baru itu) ke dalam situasi kontekstuil.
  2. Menghadiahi murid bagi apa yang telah dicapainya, oleh karena ia disini segera memperoleh feedback, ia memahami suatu fragmen bahasa yang wajar dan ia bangga karena itu yang dengan sendirinya, memperkuat motivasi murid untuk belajar lebih lanjut, dan hal ini amat penting, oleh karena “the most important thing in language teaching (is) the motive (Michael West).

Tujuan fase pertama ialah melatih telinga dan selalu melatih berulang kali yang dalam fase ini merupakan pokok yang penting. Dalam fase ini kita belum meminta dari murid supaya meniru mengucapkan, atau ikut mengucapkan dan kita tidak memaksakannya sedikitpun. Apabila murid berbuat demikian atas kehendak sendiri, dibawah semacam desakan yang menyeret dia, maka kita merasa berbahagia, oleh karena hal itu berarti bahwa masa inkubasi telah mencapai keadaan kenyang dan murid telah menjadi masak untuk produksi bahasa. Maka kelirulah untuk memaksakan suatu produksi bahasa apabila kematangan itu belum tercapai, oleh karena kita akan mendapat bahaya melakukan kesalahan membawa murid ke arah pemakaian bahasa yang salah dan ke frustasi tertentu yang tidak menguntungkan bagi proses belajar.

  1. Fase kedua ialah dikte: murid memiliki pita atau plat gramapun dengan teks yang berkecepatan dikte dan mulai mencatat teks. Pada kesempatan itu ia boleh menggunakan kamus, ia boleh ikut mengucapkan teks dan mengulang pada waktu menulis (mencatat). Keberatan beberapa pedagoog terhadap cara ini tidaklah benar, yaitu bahwa murid mencatat sejumlah kata yang belum dipelajari. Mengapa tidak benar? Pertama keadaan yang sebetulnya ialah bahwa tiap murid menulis dengan kesalahan-kesalahan, walaupun ia telah melihat kata-kata tersebut; kedua ia memiliki kamus dan keadaan yang sebetulnya ialah bahwa sesuatu kata itu lebih mudah dingat secara auditif dan visual, kalau telah dicarinya sendiri di dalam kamus, oleh karena ada terkait ke dalam kata tersebut suatu aktivitas motoris, suatu bentuk “total behavior” yang akan amat membantu mengingat sesuatu.

Salah satu alasan untuk menyelipkan dikte pada saat ini ke dalam pelajaran ialah, bahwa masa inkubasi karenanya diperpanjang; murid akan sekali lagi selama setengah jam mendengar bahasa dan lama kelamaan menjadi sehingga akhirnya dia akan mengalami kesulitan-kesulitan yang jauh berkurang dengan berbicara. Sesudah menulis teks, murid mengambil lagi bukunya dan memperbaiki kesalahan- kesalahannya dan inipun merupakan feedback segera; dia menulis kembali beberapa kali kata-kata itu yang pernah salah tulis.

Tugas guru sekarang ialah:

  1. Meneliti apakah murid telah melihat semua kesalahan, dengan lain kata guru memeriksa pekerjaan murid.
  2. Menerangkan sejumlah aturan-aturan mengeja, yang menjadi dasar beberapa bentuk grafis. Pada detik-detik waktu teratur ia dapat mengformulir sejumlah aturan mengeja dalam bentuk sintesa, mengulang, memberikan contoh-contoh yang lain dan sebagainya. Menjelang akhir kursus guru sudah harus bebas dari bagian/tugas ini. Tujuan guru yang baik ialah makin dapat mengurangi peranan diri pribadi dalam proses belajar dan makin dapat membiarkan para murid bekerja sendiri (secara berdaulat) walaupun dengan pengawasan. Hal ini sering dilupakan oleh para guru dan mereka ini sering mengerjakan tugas yang sebetulnya menjadi hak para murid yaitu: menemukan sendiri, belajar sendiri.

  1. Fase ketiga menyuruh murid mencontoh mengucapkan naskah dan hal itu selalu tanpa menggunakan buku. Ditinjau secara normal pada ketika itu ia telah mencapai keadaan matang yang cukup untuk menjalankan tufasnya dengan baik, dengan murid yang lambat dan kurang pandai masih dapat diberikan kesempatan untuk iku mengatakan, sebelum beralih kepada mencontoh mengucapkan yang sesungguhnya. Lama pelajaran disini ditentukan oleh kemajuan para murid. Kalau mereka ini telah berhasil mencontoh atau ikut mengucapkan secara baik maka latihan itu tidak perlu diperpanjang, dan lebih baik kita beralih kepada fase berikutnya. Selama latihan-latihan para murid itu sendiri menjadi tugas guru mengawasi ucapan yang tepat, pula aksen dan intonasi. Maka jelaslah bahwa pekerjaan ini sebaiknya dilakukan dalam suatu praktikum bahasa, karena hanya dalam praktikum bahasa para murid dapat bekerja dengan irama/tempo yang cocok dengan masing-masing pribadi dan guru dan dapat secara berfikir menaruh perhatiannya kepada tiap murid tanpa mengganggu yang lain.

  1. Lektur: para murid sesudah itu mengambil bukunya dan membaca naskah tersebut nyaring-nyaring. Mereka berbuat demikian ketika dalam telinganya masih berdengung-dengung bunyi teks tersebut, sehingga mereka tidak terlalu terpengaruh oleh tulisan. Selama latihan itu guru harus memanfaatkan waktunya untuk meneliti para murid, karena mungkin diantara mereka ada yang bingung melihat tulisan bahasa dan menyuruhnya mendengar teks lagi, sambil mengikutinya dalam buku; selanjutnya para murid harus beralih ikut mengucapkan, sehingga akhirnya mereka itu dari pita sampai kepada pembacaan yang benar. Guru harus juga memperhatikan teknik membaca–walaupun itu bukan tugasnya khusus–dan ia harus menyuruh murid membaca seolah-olah menghadapi publik. Latihan semacam ini terutama penting bagi para murid, oleh karena kita tahu, bahwa mereka kelak mungkin harus mengadakan ceramah-ceramah, pembicaraan-pembicaraan di muka TV dan sebagainya.

  1. Fase berikut digunakan untuk studi struktur, pola kalimat, pembentukan kata, penyusunan kelompok kata dan sebagainya. Pada tiap pelajaran dapat dianalisis dua hingga tiga struktur atas dasar kalimat-kalimat yang disajikan di dalam teks, kalimat-kalimat yang hingga ketika itu sudah menjadi semacam otomatisme, para murid akan menemukan sendiri, dibawah pimpinan guru, susunan sendiri dan pembentukan struktur tersebut.

Segera mereka itu mempraktekkan rentetan latihan-latihan substitusi untuk belajar menggunakan struktur tersebut sebagai satu keseluruhan, yang tidak lagi terikat kepada satu contoh dalam naskah. Mungkin soalnya adalah soal transformasi, atau soal derivative, tetapi hal itu hanya erat hubungannya dengan sifat struktur. Bagaimanapun juga para murid segera beralih kepada berlatih dengan aturan-aturan baru dan ini sebaiknya masih di dalam kelas dan langsung di bawah pengawasan guru. Sesudah beberapa kali mendapat giliran latihan dan guru berpendapat bahwa para murid sekarang sudah dapat menlanjutkan sendiri latihan-latihan itu, maka latihan-latihan itu dilanjutkan dengan praktikum bahasa atau dirumah dengan pita perekam atau plat gramapun.

  1. Fase berikutnya daripada skema pelajaran barangkali merupakan yang paling penting untuk berhasil baiknya kursus.

Yang dipusatkan sekarang ialah latihan berbicara yang mengumandangkan jam kenyataan yang sebetulnya dari proses belajar. Latihan berbicara ini dipecah menjadi dua pokok kegiatan, yaitu:

  1. Tiap murid harus mampu berbicara tentang pokok yang diberikan selama beberapa menit; hal itu dapat dilakukan dengan membuat parafrase atas teks-teks yang disajikan, dengan memberikan komentar kepada peta dasar atau peta biasa, dengan mengembangkan sejumlah alasan mengenai suatu pemikiran.
  2. Tiap murid harus dapat ikut serta dalam suatu konversasi, percakapan panil, suatu debat, pada permulaan tentang hal-hal yang diberikan dalam buku pelajaran dan menjelang akhir kursus tentang hal-hal/pokok-pokok di luar buku pelajaran.

Giliran latihan itu bagi tiap murid harus berlangsung menurut procede yang makin lama makin sulit. Tugas gurulah yang harus mengetahui kemampuan seseorang murid (misalnya murid x) dan memberikan kepadanya suatu tugas yang dapat dijalankannya. Amatlah penting bahwa murid itu dapat menjalankan/menyelesaikan tugas yang diberikan, agar tidak kendor semangatnya dan mendapatkan kesan seolah-olah lain-lain murid lebih baik daripadanya. Dengan cara pemilihan yang teliti mengenai jenis latihan, guru dapat membuat seluruh kelas percaya bahwa seluruh berevaluasi pada level yang sama, walaupun tidak demikian kenyataannya.

Latihan paling sederhana ialah menghafal teks yang disajikan. Hal ini mungkin kurang interesan tetapi latihan semacam itu memberikan kepercayaan yang mutlak kepada murid mengenai kemampuan dalam lagu kalimat, irama dan pemakaian perbendaharaan kata. Sedikit lebih sulit, jika murid harus menceriterakan kembali teks itu. Pada kesempatan itu ia masih dapat menghafal beberapa kalimat tetapi sering ia melompati kalimat- kalimat, sehingga ia terpaksa membuat kalimat-kalimat sendiri.

Langkah berikutnya memberikan teks kepada murid yang amat dekat atau hamper sama dengan teks yang disajikan, tetapi berbeda juga sedikit karena susunan kalimat dan gagasan yang tercantum di dalamnya. Hal ini memaksa murid untuk menyesuaikan apa yang telah dipelajarinya dengan keadaan yang agak diubah. Pemberian persoalan dapat diatur demikian rupa sehingga murid terpaksa berbicara tentang persoalan itu, yang dapat diformulir menurut pola teks dan dengan lain kata persoalan yang dapat diselesaikan dengan substitusi.

Suatu contoh dapat memperjelas uraian tersebut di atas. Kalau kelas (= para murid) sudah mempelajari sebuah teks tentang rapor sekolah, maka murid:

  1. Dapat menghafal teks yang dia pakai sebagai pelajaran itu;
  2. Menyesuaikan teks pelajaran itu kepada angka-angka rapornya sendiri.
  3. Memberikan komentar kepada rapor dari siapa saja.

Ada guru yang hanya memberikan title/judul, tetapi dalam fase ini para murid belum mampu diberi tugas demikian. Biasanya mereka ini tidak dapat menemukan gagasan-gagasan yang menyangkut judul itu; memang suatu kenyataan yang mengherankan, bahwa ruang kelas itu amat sedikit memberikan inspirasi kepada para murid. Oleh karena itu masih harus ada fase peralihan. Rekonstruksi teks adalah peralihan yang baik sekali, para murid mendapat/meneriman teks dengan tempat-tempat yang kosong, sedangkan pada teks itu terdapat ide/gagasan mengenai pemberian persoalan, tetapi tidak tertulis selesai, bahkan pula kebanyakan kata-kata yang menyangkut persoalannya. Maka para murid harus menyusun teks dengan bantuan kata-kata yang diberikan dan ide-ide/gagasan-gagasan yang dianjurkan sambil menjaga agar para murid itu membuat kalimat-kalimat yang korek dengan intonasi yang tepat. Bagaimanapun juga teks itu tidak boleh dicatat.

Satu langkah lebih maju lagi ialah bahwa guru hanya memberikan rentetan gagasan, pada permulaan amat luas dengan segala macam argumen yang mungkin, tetapi dalam bentuk skema. Para murid harus menyusun uraian sendiri dari bahan-bahan kasar yang disediakan itu. Makin lanjut kursus itu, makin sedikit jumlah gagasan yang diberikan, terutama makin terbatas dalam penguraiannya, sehingga para murid terpaksa bekerja lebih intensif sendiri. Hanya pada akhir kursus, dan hanya bagi murid-murid yang terbaik, pemberian persoalan itu berupa hanya beberapa kata untuk mencapai hasil yang lumayan.

Deretan tersebut di atas jangan hendaknya diberikan secara “en block” kepada semua murid sekaligus. Memang guru dapat memberikan tugas kepada murid yang lemah untuk menceriterakan kembali teks, sedangkan kepada murid yang lain untuk merekonstruksi teks, yang lain-lain lagi mengerjakan suatu rencana, dan yang keempat menyelesaikan tugas (persoalan) yang hampir sepenuhnya dikerjakan sendiri.

Yang terpenting ialah tidak mengendorkan semangat murid dengan memberikan kepadanya sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka, tetapi di samping itu tidak menghambat murid yang baik dan selalu menjaga agar supaya nilai rata-rata seluruh kelas tetap sama tiap orang harus ditingkatkan semaksimal mungkin.

Giliran-giliran untuk latihan yang berbentuk percakapan-percakapan dapat berlangsung menurut skema “dari mudah ke sulit”, walaupun disini juga tidak mudah untuk memberikan soal-soal yang sesuai, dengan bakat masing-masing murid. Soal yang paling sederhana ialah menghafal dialog, kemudian mengadakan perubahan-perubahan kecil di dalamnya, yang menyebabkan kita secara diam-diam makin berpisah dengan apa yang dihafal, sesudah itu guru dapat beralih kepada permainan tanya-jawab tentang pelajaran yang telah dipelajari dan tentang hal-hal yang berkaitan.

Pasti menjadi suatu kemutlakan untuk membuat percakapan dengan murid-murid dewasa itu bersifat individuil dan hal ini berarti soal itu harus dilaksanakan seolah-olah sesuatu yang betul-betul terjadi (wajar). Untuk tetap pada rapor sekolah kita dapat memberikan latihan-latihan seperti:

  1. Seorang ayah pergi menemui seorang guru untuk meminta penjelasan tentang prestasi dari putra-putranya, percakapan ayah–guru;
  2. Suatu rapat orang tua membicarakan hasil-hasil putra-putranya, seorang mengetahui rapat itu, yang lain mengemukakan pendapat, mengadakan teguran-teguran, mengajkan pertanyaan-pertanyaan dan sebagainya.

Jenis percakapan ini dengan cepat dapat dipraktekkan kepada lapangan kerja kelompok. Kalau hal itu mengenai kelompok pemimpin kerja, dapat diberikan pemraktekan atas “prestasi pegawai” dalam lingkungan suatu pabrik atau perusahaan. Salah seorang pengikut memegang peranan sebagai direktur yang menanyai pegawainya tentang keadaan bagiannya dan mengajukan usul-usul.

Van Passel telah mencoba mengadakan diskusi-diskusi semacam itu berpuluh-puluh kali oleh pelbagai kelompok orang dan semua itu dengan hasil yang amat mengagumkan. Kalau guru itu berhasil menggerakkan para pengikut (siswa) untuk menjalankan peranan seperti yang sesungguhnya dalam kehdupan riil, yaitu seolah-olah mereka itu betul-betul di dalam perusahaannya atau pabriknya maka orang-orang (= para murid) itu:

  1. Dengan segera mempunyai rentetan gagasan untuk membicarakannya.
  2. Merasakan perlunya menjalankan peranan itu sebaik-baiknya.

Keseluruhan percakapan merupakan permainan reaksi dan kontra reaksi dengan kata-kata dan pikiran-pikiran dan seluruh suasana mirip kehidupan yang sesungguhnya dalam bahasa asing dan para pengikut belajar banyak dari kesempatan itu. Guru yang baik dapat membanctu banyak untuk mensukseskan percakapan semacam itu dengan menciptakan suasana yang tepat, dengan membagi-bagi peranan itu sedemikian rupa, sehingga misalnya murid yang terbaik berperanan sebagai direktur dan memimpin diskusi dan juga memiliki bakat untuk memaksa yang lain ikut berkonversasi. Pada permulaan mungin masih perlu, bahwa guru bertindak sebagai moderator, tetapi segera keadaan itu mungkin, guru harus menyerahkan peranan-peranan itu sepenuhnya kepada para murid. Dia sendiri berada di latar-belakang dan hanya sambil lalu menolong sebentar menggunakan kata yang tepat atau salah. Selama perdebatan yang demikian itu para pengikut kalau perlu boleh berjalan-jalan dalam kelas, menjelaskan gagasan-gagasannya pada papan tulis dengan suatu peta dasar atau rencana kerja mengemukakan argumen-argumen.

  1. Kursus itu harus pula menyediakan teks cadangan (text reserve) dengan pelbagai alasan. Murid-murid yang cepat/cerdas haru mendapat sesuatu tambahan (supplementer) untuk mengisi waktu mereka. Bagi yang lain teks-teks tambahan merupakan semacam test. Oleh karena teks itu menyangkut pokok yang hampir sama (sejenis), para murid harus agak mudah memahaminya, Mereka juga harus mampun membuat ikhtiar dari teks itu dan menceriterakannya kembali dan melakukan semua itu tanpa banyak kesukaran. Teks ini kebanyakan masih memberikan informasi-informasi tambahan-tambahan tentang kehidupan, kebiasaan, atau pikiran dari orang-orang yang berbahasa asing tersebut. Jadi teks itu dapat menjadi perantaan untuk sesuatu pembicaraan, jika perlu suatu debat, jika isinya mengizinkan.

  1. Pernyataan bahasa secara tertulis tidak dapat menimbulkan problema besar jika skema yang terdahulu itu betul-betul dilaksanakan. Soal-soal yang diberikan itu sebetulnya hanya merupakan pemraktekan atas pokok-pokok yang dibicarakan panjang lebar. Seorang murid dapat misalnya menulis uraiannya. Lain orang dapat menulis surat kepada direksi sekolah mengenai rapor anaknya, yang lain lagi membuat laporan tentang rapatnya, tentang diskusi yang telah diadakan dalam kelas. Jika mungkin, guru akan meminta supaya latihan-latihan itu dibuat di rumah sehingga selam kursus waktu sepenuhnya dapat digunakan untuk bekerja sama. Guru akan mengoreksi pekerjaan murid dan mengembalikannya dengan komentar. Sekali tempo ia (guru) akan menggunakan sedikit waktu untuk membicarakan kesalahan-kesalahan yang umum dan yang berulang kali dibuat.

Dalam kursus semacam ini terjemahan tidak pada tempatnya. Suatu pengetahuan dasar tidaklah cukup untuk menghadapkan murid kepada persoalan-persoalan/problema bertumpuk (tumpuk) memindahkan kekhususan suatu bahasa ke lain bahasa yang dipelajari atau sebaliknya untuk pengetahuan dasar ini masih telalu sulit dan terlalu khusus. Tetapi menarik pula untuk membuat daftar dari semua yang bersifat idiom dan tidak cocok dengan aturan-aturan, menghafalkan kolokasi yang sering terdapat tidak hanya menarik untuk lebel kursus ini, tetapi juga dapat menjadi peringatan yang baik agar jangan menganggap enteng menjadi penterjemah.

2.2                           Penyusunan dan isi kursus

Kebanyakan pengarang melengkapi buku-buku pelajarannya dengan suatu progresi liniaire, yang pada tempat-tempat atau detik-detik tertentu dihentikan untuk suatu pengulangan. Mungkin progresi liniaire ini bertentangan dengan tuntutan-tuntutan psikologis daripada proses belajar orang-orang dewasa. Kursus Bahasa Belanda Aktif II, karangan Van Passel, yang disusun dengan metode audio–visuil struktur–global progresi itu melompat-lompat sebagai berikut:

  1. Deretan terdiri atas lima pelajaran disusun atas dasar progresi liniaire, dengan pengertian bahwa dua pelajaran yang terakhir itu membuat loncatan tinggi naik, yang menuntut banyak dari siswa- siswa; sesudah itu menyusul suatu istirahat untuk ulangan dan sintesa;
  2. Deretan kedua terdiri atas lima pelajaran mulai dengan taraf yang kira-kira sama dengan pelajaran keempat dari deretan pertama, dan bagi para siswa hal itu berarti suatu peringatan pekerjaan. Pelajaran keempat dan kalimat dalam deretan kedua ini melonjak lagi ke atas, kemudian lagi suatu istirahat dan sintesa;

Begitu seterusnya, sehingga kita mendapat grafik sebagai berikut:

Cara ini memberikan pelbagai manfaat psikologis murid yang cakap mendapat kesempatan untuk belajar sepuas-puasnya dan tidak akan mendapat kesan seolah-olah belajar sepuas-puasnya dan tidak akan mendapat kesan seolah-olah tidak bertambah pengetahuan. Ia masih selalu dihadapkan kepada tugas serius (berat) dan tidak akan mendapat kesempatan untuk merasa dirinya sudah pandai. Murid yang lemah akan dapat mengikuti secara baik selama tiga pelajaran yang pertama, dan sesudah itu baharu mengalami kesulitan-kesulitan.

Pengalaman telah menunjukkan bahwa gejala itu selalu menimpa murid-murid yang lemah, juga dalam kursus-kursus dengan progresi linaire semata-mata. Sesudah kursus pertama, tentulah datang suatu saat bahwa para murid merasa tetap berada dalam taraf yang sama (= tidak maju), yang menyebabkan mereka itu kendor semangatnya dan dari belajar itu membuat suatu routine. Keadaan ini berlaku bagi semua kursus tingkat dua dalam pengajaran lanjutan (secundair) di Belgi (menurut Van Passel), di mana motivasi untuk membuat kemajuan-kemajuan hamper sama sekali tidak ada.

Tetap berada dalam keadaan impasse (= terhenti; tidak maju) kita buat selama beberapa pelajaran secara “officieel”, tetapi sesudah itu turunlah sekonyong-konyong tingkat ketegangan untuk berusaha, dan murid yang lemah sekonyong-konyong memperoleh kesan, bahwa sebetulnya lebih banyak yang diketahuinya, dari pada yang disangkanya sendiri. Dia mendapat semangat kembali untuk lebih giat bekerja, oleh karena ia dapat menyelesaikan soal dengan baik, dan seterusnya kan dapat berbuat demikian. Dan hal itu memang betul-betul berjalan baik selama tiga pelajaran berikutnya, kemudian ia menyangkut lagi, membuat usaha keras lagi dan mengatasi kesulitan sehingga akhirnya tercapailah tujuannya.

Mengenai isi pelajaran, kita berpendapat bahwa isi itu harus memberikan urutan model bahasa yang baik berasal dari negeri yang bersangkutan dan oleh karena itu menghubungkan secara langsung dengan suasana orang-orang pribumi. Ini belum berarti bahwa kita telah menyelundupkan ikhtisar-ikhtisar dari karya-karya literair sebagai kebudayaan dalam arti sempit. Yang seharusnya kita kerjakan ialah laporan- laporan/reportase-reportase, asli, interview-interview (wawancara-wawancara), pidato-pidato, karangan-karangan pendek dalam majalah/surat kabar yang membicarakan sesuatu masalah yang lebih mendekatkan siswa kepada orang-orang pribumi dari bahasa yang bersangkutan. Penggunaan dialog-dialog yang stereotype, yang membawa para pelancong ke hotel, stasiun dan kemana saja, rupa-rupanya bertentangan dengan tujuan kursus pengetahuan dasar ini. Lihat dalam hubungan ini informasi tentang kebudayaan dalam pengajaran bahasa.

2.2     Tentang Hal membaca

Pada permulaan kursus atau sebelumnya bila mungkin, para siswa mendapat daftar karangan-karangan terpilih oleh guru, yang harus dibaca sendiri selama jamnya sendiri yang bebas atau diluar pelajaran. Bacaan-bacaan itu sudah demikian rupa disederhanakan, sehingga hanya paling tinggi memuat 1500 kata dasar, sehingga dengan bacaan itu:

  • Kata-kata tertentu yang sudah dikenal dilatihkan kembali, semacam feedback.
  • Sejumlah kata baru dalam konteks yang wajar diajarkan, sehingga dengan demikian diperoleh penambahan perbendaharaan kata. “Dengan demikian tanggungjawab sepenuhnya daripada studi terletak pada orang satu-satunya yaitu siswa sendiri. Penambahan pengetahuan hanya berjalan atas pengalaman sendiri dengan pilihan pribadi” demikian G.J. Nieuwenhuis (1946: 86) dalam “Bronnenboek, taalkundige kernen en perspectieven”, Groningen, Wolters.

            Harus jangan kita lupakan, bahwa membaca bagi kebanyakan (maha)siswa masih tetap merupakan sumber penambahan pengetahuan, yang penting terutama sesudah kursus, karena hasil baik suatu kursus pengetahuan dasar juga tergantung dari taraf kesempurnaan yang kita capai dalam membaca. Membaca akhirnya adalah salah satu alat untuk menambah kebahagiaan beribu-ribu orang. (G.J. Nieuwenhuis, idem, p. 100-101).

Hanya sayang bahwa selama 200 jam bagi kursus pengetahuan dasar dengan orang-orang dewasa ini kita tidak memiliki waktu gna membicarakan teknik membaca di dalam kelas. Sayang sekali bahwa pengalaman telah menunjukkan bahwa diantara orang dewasa di sekolah banyak yang tidak merasa terdorong untuk membaca dan juga tidak mendapat bimbingan teknik membaca yang baik. Mereka tidak tahu apa yang harus dikerjakan mengenai apa yang telah dibaca itu, tak tahu bagaimana cara membuat isi ringkas (ikhtisar), dan bagaimana caranya untuk mendapatkan tambahan pengetahuan dengan membaca.

Jadi persoalan bagi guru ialah:

  1. Memimpin murid dalam lektur, artinya memberikan sejumlah buku-buku dengan tingkat-tingkat kesulitan yang makin meningkat, sehingga mereka itu dapat membaca sendiri tanpa kendor semangatnya.
  2. Memberikan kepada murid itu sejumlah penerangan dan nasihat tentang cara bagaimana harus membaca dan membuat catatan- catatan mengenai buku referensi yang dibacanya. Ini dapat dilakukan dengan memberikan semacam vademecum kepada para murid; di dalamnya tercantum beberapa kamus yang dapat digunakan oleh para murid.
  3. Pada detik-detik/waktu-waktu tertentu menyuruh murid supaya membaca catatan-catatannya untuk mendorong supaya mengikuti waktunya secara baik dan menjaga jangan sampai para murid itu tidak menggunakan waktunya untuk membaca.
  4. Kadang-kadang menggunakan waktu setengah jam untuk menyuruh menceritakan kembali bacaan di rumah itu, sehingga murid mendapatkan kesan memang demikianlah seharusnya dan bahwa bacaan (lektur) itu merupakan bagian penting dari kursus/pelajaran, walaupun tidak diberikan waktu pelajaran membaca yang sesungguhnya.
  5. Pada waktu murid menceritakan kembali itu, guru meneliti apakah murid melampaui saja(= tidak memperhatikan) informasi kultural yang terkandung di dalamnya, jadi kalau perlu menunjukkan apa yang sesungguhnya (mengenai informasi kuluril) yang terdapat di dalam bacaan tersebut, dan hal itu dilakukan demikian rupa sehingga murid merasakan kekurangannya. Semua itu harus dijalankan untuk mensukseskan pelajaran.
  6. Dengan demikian bibliografi dengan gelar-gelar (title, judul) buku-buku yang terpenting mengenai kehidupan sosial, politik dan ekonomi dari lingkungan sosial yang berbeda, membimbing murid dalam studinya.

Amat penting sekali jika guru sesudah kursus/pelajaran selesai bersedia memberikan nasihat dan petunjuk kepada para (bekas) muridnya dalam mengatasi kesulitan-kesulitannya. Ini disebut sebagai “pendidikan permanen”.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Nelson. 1960. Language and Laguage Learning Theory and Practice. New York: Harcourt, Brace and World.

Buitrago, Mauricio. Behaviorist Theory On Language Learning and Acquicition.

McKendry, Eugene. An Overview of Second Language Teaching Methods and Aproaches. www.cramlap.org/…/Filetoupload,23970.doc. Diunduh 29 September 2009

Nivette, J. 1970. Grondbegippen van generative grammatica, deel V dalam Talen en Cultuur, I.V.A.M. Brussel, Labor-Ninove, Steppe.

Nieuwenhuis, G.J. 1946. Bronnenboek, taalkundige kernen en perspectieven, Groningen: Wolters.

Politzer, Robert. R. 1961. Teaching French: An Introduction to Applied Linguistics. Boston: Ginn and Co

Politzer, Robert. R. 1961. Teaching Spanish: A Linguistic Orientation. Boston: Ginn and Co.

Prator, C.H. and Celce-Murcia, M. 1979. An outline of language teaching approaches. In Celce-Murcia, M. and McIntosh, L. (Ed.), Teaching English as a Second or Foreign Language. New York: Newbury House.

Rivers, Wilga M. 1964. The Psychologist and the Foreign Language Teacher. Chicago: University of Chicago Press.

Wojowasito, S. 1977. Pengajaran Bahasa kedua: Bahasa Asing, bukan Bahasa Ibu. Bandung: Penerbit Shinta Dharma.